Drama satu
babak.
MESJID
Karya Adjim Ariadi
ADEGAN 1
SEORANG PEREMPUAN BERNAMA ZALEHA, BARUSAN SELESAI SOLAT. TIBA-TIBA IA
DIKAGETKAN OLEH SUARA SESEORANG YANG MEMENGGIL NAMANYA DIDALAM. BELUM LAGI IA
MENYAMBUT DIPINTU, ORANG ITU SUDAH MUNCUL.
SAHLI : Zaleha . Hei
Zaleha.
ZALEHA : Ada apa pak Sahli.
SAHLI :
Hei Zaleha, kau jangan enak-enak tinggal
di rumah. Diluar cukupgawat. Mh. Memalukan.
ZALEHA :
Kan
kegawatan di desa, ini sudah biasa.
SAHLI :
Kegawatan memang biasa. Tapi yang menjadi sebab
kegawatan itulah, yang perlu kau perhatikan.
ZALEHA :
Kan tak ada sangkut paut dengan saya ?
SAHLI : Bandan. Bukankah si Bandan itu, adikmu ?
Adik kandung mu.
ZALEHA :
Saya sudah mengerti, apa sebab pak Sahli
dating kemari. Tapi, apakah pak Sahli punya tuntutan?
SAHLI : Itu
sudah jelas.
ZALEHA : Kerugian
apa yang pak Sahli derita.
SAHLI : Sebagai
orang tua dan terpandang di desa ini, tentu saja saya menuntut ketentraman.
ZALEHA : Maksud saya, apakah pak Sahli memeng
dirugikan oleh adik saya Bandan?
SAHLI : Ini soal kedamaian desa, Zaleha. Dan kejadian
ini bukan lagi sebuah mainan.
ZALEHA : Maksud saya, apakah pak Sahli, minta ganti
rugi, akibat kenakalanadik saya. Kalau
minta ganti rugi, berapa banyaknya.
SAHLI : Kerugian
ini, tidak bias diperhitungkan begitu saja.
ZALEHA
: Barangkali jendela kaca pak Sahli yang
dipecahkan. Dan berapa jumlah jendela
kaca yang rusak. Kan
ganpang saja menghitungnya.
SAHLI :
Eeeee.. masih saja kau anggap mainan
berita yang ku sampaikan ini? Tapi. Ah rasanya tak ada gunanya ngomong dengan
engkau. Mana suamimu.
ZALEHA : Kan sama saja. Toh, kami
berdua suami istri. Persoalan adik saya adalah persoalan saya juga. Dan saya
dengan suami saya, akan mempertanggung jawabkannya.
SAHLI : Baik,
kalau memang engkau berani bertanggung jawab.
ZALEHA : Bilang
saja, saya akan menghadapinya dengan tabah.
SAHLI : Baik.
Zaleha. Hari ini juga, kau harus mengusir adikmu Bandan dari desa ini.
ZALEHA :
Mengusir adik saya Bandan? Apakah kenakalanya sudah melebihi batas?
SAHLI : Sudah
melebihi dari keluar biasaan.
ZALEHA : Tapi
Bandan kan masih
remaja?
SAHLI : Ini
bukan lagi kenakalan remaja namanya. Ini kejahatan orang dewasa.
ZALEHA : Apa
yang harus dilakukan adik saya Bandan?
SAHLI : Rupa-rupanya
tingkah laku adikmu Bandan sampai saat ini, belum kau teliti dengan baik?
Pokoknya Bandan harus hilang dari desa ini.
ZALEHA : Tapi
desa ini, tanah lahirnya. Tempat almarhum ayahku lahir. Juga almarhumah ibuku
yang sampai akhir hayatnya tetap mencintai desa ini. Tunah tumpah darah kami
semua. Termasuk nenek moyang kami bukan?
SAHLI : Tanah lahir,
persyaratan untuk tempat tinggal seseorang. Siapapun boleh menetap di desa ini
selama ia tumduk dengan adapt istiadat desa.
ZALEHA : Tapi saya belum melihat, keberandalan adik
saya yang membawa akibat desa mengalami kerusuhan.
SAHLI :
Dari itu sudah sejak tadi kukatakan,
jangan engkau mengurung diri didalam rumah. Buka matamu. Buka kupingmu
lebar-lebar, siapa dan bagaimana tabiat adikmu selama ini.
ZALEHA :
Katakan pak Sahli, kejahatan apa yang
sebenarnya.
SAHLI :
Untuk mengatakan siapa adikmu Bandan,
mungkin tidak akan selesai seminggu.
ZALEHA :
Antaranya?
SAHLI :
Perbuatannya tersimpul dalam istilah
kejahatan.
ZALEHA :
Katakan dengan jelas kejahatan itu.
SAHLI :
Sebentar lagi adikmu Bandan akan
menjadi seorang pembunuh.
ZALEHA :
Itu tidak mungkin.
SAHLI :
Kau membantahnya? Coba kau pikirkan
lebih jauh. Kemarin malam, pak Haji Mursid kehilangan ayamnya yang berbulu
putih. Besoknya Haji Mursid pergi ketempat perjudian disebelah tembok. Ternyata
bulu ayam yang berwarna putih, berserakan disana. Pak Mursid langsung menuduh
Bandan adikmu. Tetapi bagaimana sikap si Bandan terhadap Haji Mursid. BAndan
langsung menghunus parangnya. Untung saja Haji Mursid lari dan orang-orang
menghalangi si Bandan. Tapi akibat semua itu, si Marlan jadi korban. Jarinya
putus terkena parang. Bukankah sikap ini, membawa akibat pada pembunuhan?
ZALEHA :
Itu kesalahan pak Haji Mursid sendiri.
Belum memperoleh bukti, sudah berani menuduh adikku Bandan. Bahkan bila pak
Haji Mursid mau dating kepada kami secara baik, tentu kerugian ayam putih itu
akan kami ganti. Percayalah.
SAHLI : Itu
salah satu contoh. Tapi yang saya berat, kejahatan Bandan, ialah kebiasaanya
menggangu anak perempuan yang pergi mengaji. Apakah kau tidak malu, dengan
perbuatan adikmu itu? Padahal kau harus sadar bahwa suamimu seorang yang alim
lagi terpandang. Seorang muballigh yang suka menasehati orang tentang amal dan
kebajikan. Sementara didalam rumahmu tersembunyi sumber penyakit yang paling
jahat.
ZALEHA :
Pak Sahli, saya ingin bertanya. Apakah
pak Sahli pribadi pernah dirugikan oleh adik saya Bandan?
SAHLI :
Dengan kejahatan seperti itu, sudah
jelas merugikan namaku sebagai orangtertua di desa ini. Seolah-olah , muka saya
dicorenginya dengan arang.
ZALEHA :
Pak Sahli telah mengaku, bahwa diri
pak Sahli, sebagai orang tua yang harus dihargai dan dituakan. Sekarang saya
minta kepada pak Sahli, dapatkah menolong saya untuk mengarahkan adik saya
Bandan kepada kebaikkan.
SAHLI : Itu tidak mungkin. Kejahatanya sudah
berurat dan berakar.
ZALEHA :
Apakah cuma Bandan sendiri?
SAHLI :
Justru karena Bandan, kejahatannya di
desa merupakan satu komplotan yang berbahaya.
ZALEHA :
Artinya tidak hanya Bandan sendiri
bukan.
SAHLI :
Zaleha. Kau mau membela adikmu Bandan?
ZALEHA : Tidak pak Sahli.
Saya justru percaya bahwa adik saya memang jahat. Tapi keinginan saya,
bagaimanamenjadikan Bandan dan kawan-kawannya kembali menjadi manusia yang
baik.
SAHLI :
Itu tidak mungkin. Tidak mungkin ia
bias sembuh kembali, sebab tuhan terlalu murka padanya. Tuhan sudah menjadikan
Bandan sebagai musuh-Nya. Orang semacam Bandan inilah yang disebut Tuhan, iblis
dengan nenek moyangnya syaiton. Iblis adalah musuh Tuhan. Dan musuh Tuhan,
harus kita lenyapkan dari muka bumi ini.
ZALEHA : Begitu keras
sikapmu dalam menghadapai kejahatan. Bukankah Rasulullah sendiri dalam
menegakkan agama Allah, berjuang mati matian ditengah musuh Allah? Dan kenabian
Rasulullah, masih diuji Allah, untuk mengislamkan orang-orang yang belum tahu
arti Islam itu sendiri.
SAHLI : Pokoknya
hutbah hari ini tidak ada. Yang ad ialah diusirnya Bandan dari desa ini. Bandan
siperampok. Bandan sipemerkosa. Bandan yang amling, hari ini juag harus sudah
tidak ada lagi di desa ini. Itu saja.
ADEGAN 2
SAHLI
MAU KELUAR TAPI IA NERPAPASAN DENGANBANDAN
SAHLI : Ini dia si
Bandan itu. Nah, ingatkan itu ( MAU KELUAR )
BANDAN : Sebentar. Pak Sahli
jangan pulang dulu ( IA MENGAMBIL AIR MINUM SAMBIL MINUM MATANYA TAJAM MELIHAT
SAHLI )
ZALEHA : ( MAU MASUK
RUANGAN DALAM TAPI DICEGAT BANDAN )
BANDAN : Zaleha, tinggal
disini. Kau harus menjadi saksi. (MENGHUNUS PARANGNYA)
ZALEHA : Bandan, parangmu
berlumur darah.
BANDAN : Siapa saja boleh
mengatakan aku seorang pembunuh. Begitu bukan Pak Sahli?
ZALEHA : Kau barusan
membunuh orang Bandan? Bandan!
BANDAN : Saya ingin disebut
pembunuh!
ZALEHA : Ooooh ( HENDAK
LUMPUH MENDENGARNYA )
BANDAN : Kau harus kuat
Zaleha. Harus kuat menjadi seorang kakak kandung seorang pembunuh. Yah, aku
seorang pembunuh, memang. Begitu bukan Pak Sahli? Hei, kenapa diam saja? Ada sesuatu yang aku
rahasiakan? Pak Sahli, kau harus membenarkan bahwa saya seorang pemabuk,
seorang perampok, pemerkosa dan seorang maling. Kau harus membenarkan title
saya ini. Ouuu masih juga membisu? Kakakku Zaleha, bukankah pak Sahli, barusan
menuduh saya seorang yang jahat?
ZALEHA : katanya
BANDAN : Begitu bukan Pak
Sahli?
SAHLI : Kata orang.
BANDAN : Dan menurut pak
Sahli?
SAHLI : Saya
menyampaikan kepada Zaleha
ZALEHA : Bukti-bikti ada
pada Pak Sahli.
BANDAN : Oi, punya bukti
segala? Seperti saya ini seorang terdakwa saja. Seorang terdakwa yang sedang
diadili. Coba saya minta, agar tuduhan-tuduhan itu diulang kembali. (Pauze)
Ayoh bicara kataku! (MEMBENTAK)
SAHLI : Apa yangharus
saya katakana? ( GEMETAR )
BANDAN : Bahwa saya seorang
maling. Betul ?
SAHLI : Yah, kata
orang
BANDAN : Bahwa saya seorang
pemerkosa. Betul?
SAHLI : Kata orang.
BANDAN : Bahwa saya seorang
perampok. Betul nggak?
SAHLI : Juga kata
orang
BANDAN : Bahwa saya seorang
penjahat?
SAHLI : Juga kata
orang
ZALEHA : Tadinya kata Pak
Sahli
SAHLI : Menurut kata
orang banyak
ZALEHA : Dan menurut Pak
Sahli?
BANDAN : Yah, saya ini
bagaimana? Katakana terus terang
SAHLI : Tapi kau
tidak tidak membunuhku bukan?
BANDAN : Membunuh seseorang
sangat gampang, taoi harus dipertimbangkan alsannya. Nah, bagaimana saya ini
sebenarnya.
SAHLI : Kau seorang
yang diharapkan baik
BANDAN : Artinya saya ini
seorang yang jahat?
SAHLI : Oh…..o……..tidak.
Kau seorang hamba Tuhan
BANDAN : Hamba Tuhan yang
bagaimana?
SAHLI : (GEMETAR
KARENA ANCAMAN PARANG )
ZALEHA : Bandan, ingat Dia
orang tua
SAHLI : Yah, betul,
saya orang tua terpandang dan terhormat. Dan juga kau habisi nyawaku.
Sayangilah nyawa manusia Bandan
BANDAN : Tapi saya belum
puas mendengar jawabannya, katakana orang yang bagaimana saya ini
SAHLI : Tentu saja
kau ini orang yang baik
BANDAN : Dan seorang yang
bagaimana?
SAHLI : E……..seorang
yang baik hati, pernah, dan……
BANDAN : Teruskan
SAHLI : Pokoknya baik
segalanya
BANDAN : Bagus. Dan
bagaimana kalau orang-orang mengatakan, seorang manusia yang jahat?
SAHLI : Biarkan saja
orang-orang menyebutnya begitu, asal saja saya tidak ikut-ikutan
BANDAN : Tapi apakah Pak Sahli tidak membela nama baik
saya?
SAHLI : Lalu
bagaimana seharusnya saya?
BANDAN : Sekali saja kau
membela namaku, berarti ada keselamatan jiwamu
SAHLI : Kau akan
menjamin keselamatan jiwa saya?
BANDAN : Ya, bila memeng
benar Pak Sahli mau mengahrumkan nama baikku
SAHLI : Dan kau akan
berdiri dibelakang saya, bila orang-orang kampong memusuhu saya?
BANDAN : Parangku ini
mempunyai penglihatan dan pendengaran yang tajam, dan akan siap pula menebas
batang leher orang yang mengganggumu.
SAHLI : Baik. Saya
akan sebarkan keharuman namamu, dan saya akan mencari maki orang yang
menjatuhkanmu.
BANDAN : Pegang kuat janjimu
itu.
SAHLI : Saya berjanji
BANDAN : Berjanji demi apa?
SAHLI : Demi tuhan,
tentunya.
BANDAN : Baik
SAHLI : Boleh saya
pulang Sekarang?
BANDAN : Sebentar. Zaleha.
Demi baik ku dan demi keharuman nama keluarga kita, berikan uang seperlunya
untuk Pak Sahli.
ZALEHA : Uang apa?
SAHLI : Uang semir
tentunya.
BANDAN : Berikan saja.
ZALEHA : (SEKALIPUN AGAK
RAGU AKHIRNYA MEMBERIKANNYA JUGA )
SAHLI : Kau harus
sadar Zaleha, bahwa nama dimasyarakat jauh lebih penting dari uang (SETELAH
MENERIMA UANG LALU MEMASUKKAN KEDALAM SAKU )
BANDAN : Sekarang Pak Sahli
boleh pulang
SAHLI : Terima
kasih.(EXIT)
ADEGAN 3
DITEMPAT
YANG SAM, BANDAN DAN ZALEHA.
ZALEHA : Orang-orang
menagtakan, bahwa pembuat huru hara di kampung ini.
BANDAN : Dan apakah engkau
turut pula bermulut usil sepertimorang-orang itu?
ZALEHA : Saya dan suami
saya sudah cukup banyak mengeluarkan uang demi menghilangkan kebohongan dan
kecurigaan itu.
BANDAN : Terima kasih atas
perhatianmu padaku. Dan itulah sikap yang terpuji.
ZALEHA : Tapi nyatanya
kebodohan dan kecurigaan itu, tak pernah henti. Orang-orang terua saja
berdatangan dan mereka mengatakan engkau penjahat.
BANDAN : Itu kata-kata dari
mulut orang bukan?
ZALEHA : Bandan, tidakkah
engkau hentikan saja, kejahatanmu itu?
BANDAN : Agaknya, kau turut
mengatakan, bahwa saya ini seoranga penjahat.
ZALEHA : Habis, kedatangan
orang-orang itu, tak pernah berhenti dan dating menuntut kerugian
BANDAN : Sekarang giliranku
yang menuntut kerugianku.
ZALEHA : Apa maksudmu
Bandan?
BANDAN : Biasa.
ZALEHA : Kau masih
membebani kami?
BANDAN : Ah tidak terlalu
banyak. Cukup dengan kalung berlian yang barusan suami mu beli itu.
ZALEHA : Bandan!
BANDAN : Jangan
menyanggahnya. Kau tidak suka bukan, bila dirumah ini terjadi keributan?
Percayalah, bahwa dengan kalung berlian itu, rumah tangga ini akan menjadi
tenteram, damai dan nyawamu akan tetap terjamin
ZALEHA : Itu tidak mungkun
Bandan.
BANDAN : Mungkin saja. Kau
berikan kalung itu kepadaku, lalu parangku akan menjaga keselamatanmu.
ZALEHA : Tapi suamiku.
BANDAN : Maksudmu, baru kau
berikan, bila suamimu sudah mengijinkan. Begitu ? Boleh saja. Tapi jangan kau
menyesal, bila pada diri suamimu akan terjadi sesuatu yang tidak kau inginkan.
Misalnya saja, suamimu menolak perintahku, ini berarti suamimu akan menyerahkan
lehernya kehadapanku. Kemana suamimu?
ZALEHA : Dari pagi ia
pergi untuk menyerahkan uang sumbangan guna untuk pembangunan mesjid.
BANDAN : Hei, Zaleha. Berapa
banyak uang sumbangan yang diserahkan suamimu hari ini.
ZALEHA : Sesuai dengan
kesanggupan kami yang kelima kalinya. Setengah juta rupiah.
BANDAN : Setengah juta
rupiah. Cukup banyak. Dan harga kalungmu itu berapa?
ZALEHA : Kau jangan
Tanya-tanya soal kalung berlianku. Perhiasan itu cukup mahal dan dibeli
suamiku, untuk kepentinganku pribadi. Dan dengan uang yang setengah juta untuk
kepentingan mesjid itu, sudah cukup menjadi beban berat bagi kami.
BANDAN : Amal perbuatan yang
disertai keluh kesah, sama saj melempar rezeki ketumpukan sampah. Untuk apa kau
beramal kalau hanya terpaksa
ZALEHA : Itu urusan kami.
Dan mesjid itu adalah tanggung jawad kami. Pokoknya mesjid harus berdiri megah
dikampung ini. Sebab mesjid berarti kebesaran Tuhan semakin Agung. Dengan
mesjid, Islam semakin jaya.
BANDAN : Untuk apa kau
berhutbah dihadapanku, sementara haluan kita jauh berbeda. Mesjid adalah urusan
kau bersama suamimu. Tapi kalung berlian adalah urusan kita berdua. Aku
memerlukan kalung berlian itu sekarang juga.
ADEGAN 4
MASUK
LANDUS DENGAN SIKAP TERBURU-BURU
LANDUS : Ssss…….Bandan, pah
Sahli dengan suami Zaleha menuju tempat ini.
BANDAN : Zaleha. Aku harus
segera mengeluarkan kalung itu.
ZALEHA : Bicaralah dengan
suamiku……..
BANDAN : Kau akan biarkan
suamimu mati terbunuh di tempat ini? Landus, hunus pisau belatimu dan tunggi
dimuka pintu. Susuk jantungnya!
LANDUS : Beres dan beres.
Tapi…. Bagaimana dengan Pak Sahli !
BANDAN : Pak Sahli menajdi
orang kita. Ia akan tutup mulut. Siapkan pisau belatimu.
ZALEHA : Sebentar. Jangan
kau lakukan kejahatan itu…………………
BANDAN : Tidak apa. Disini
hukum tak berlaku. Polisi tidak ada. Dan tuntutan berarti kematian bagi siapa
saja yang mengadakan pengaduan.
ZALEHA : Tapi suamiku
jangan kau bunuh…………………………..
BANDAN : Suamimu hanya bias
diselamatkan dengan kalung berlian itu.
ZALEHA : Baik. Kalung
berlian itu akan ku berikan. Tunggu sebentar (EXIT ).
ADEGAN 5
LANDUS
DAN BANDAN MASIH DITEMPAT ITU DENGAN SEMBUNYI-SEMBUNYI LALU MASUK H. SAHLAN DAN
GURU MARLI
H. SAHLAN : Saya yakin, bahwa
Bandan tidak akan menggangu pembangunan mesjid itu. Bandan orang baik.
MARLI : Sejak kapan
Pak Sahli berpendapat seperti itu. Bukankah Pak Sahli sendiri yangmenyebarkan
berita kejahatan si Bandan?
H. SAHLI : Menurut
orang-orang. Marli………………………………
MARLI : Zaleha. Kata
Pak Sahli bandan ada disini. Mana dia?
ZALEHA : Bandan dan
kawan-kawannya ada dibelakang.
MARLI : Kenapa mukamu
pucat? Dan kau tampak gemetar. Demam lagi?
ZALEHA : Tidak. Saya tak
apa-apa. Saya tidak sakit. Cuma kepalaku agak pusing sedikit.
MARLI : Lebih baik kau
bawa berbaring saja.
ZALEHA : Tapi………………...o……o………
MARLI : Kau kelihatan
gugup. Kau benar-benar sakit Zaleha…………..
ZALEHA : Tidak, saya tidak
apa-apa.
MARLI : Kau mau
mengatakan sesuatu?
BANDAN : (MASUK DAN BERKATA)
Zaleha,
hari ini aku akan pergi mendulang intan. Munkin akan pergi krdaerah pendulangan
yang jauh.
MARLI : Bandan. Kau
akan pergi mendulang intan?
BANDAN : Ada mimpi.
SAHLI : Oh………, mimpi
apa Bandan?
BANDAN : Mimpi seorang tua
berkain kafan, lalu mengaklungkan berlian dileherku.
MARLI : Itu mimpi yang
bagus.
SAHLI : Tapi kalau
mimpi yang bagus tak usah pergi yang jauh-jauh, rejeki tetap rejeki, sekalipun
pekerjaan itu dibelakang rumah.
MARLI : Itu ada benarnya
juga. Janganlah meninggalkan belian yang ada disamping rumah. Kalau hanya sekedar
mencari berlian didaerah pandulangan. Tuhan selali berkenan memberikan
rejekinya kepada seseorang selama seorang itu mau berusaha dengan
sungguh-sungguh. Tapi rejeki tidak mungkin dating tanpa orang itu mau bekerja.
BANDAN : Kan yang namanya punya tanda-tanda untuk
mendapat rejeki tentu rejeki itu akan dating sendiri kepada kita.
MARLI : Tapi nasi
dipiring tak mungkin masuk ke mulut tanpa kita berusaha untuk menyuapnya.
BANDAN : Zaleha. Apakah kau
sepakat denganku, bial aku pergi mendulang intan.
ZALEHA : Tidakkah lebih
baik mencari jalan lain saja.
BANDAN : Tapi aku merindukan
permata berlian itu.
MARLI : Ku hargai
keinginanmu itu, Bandan……..
BANDAN : Landus apakah pisau
belatimu cukup tajam untuk menyembelih kambing berjanggut?
SAHLI : Oh, kau
selamatan dengan kambing,…………
BANDAN : Mana pisau belatimu
itu…………..
LANDUS : (MENGHUNUS PISAU
BELATI DAN MENGAMBIL TAMPAT DIBELAKANG MARLI)
ZALEHA : Tapi kau jangan
main-main denganpisau belati itu, Bandan…..
BANDAN : Apakah cukup tajam
untuk memotong lehernya.
ZALEHA : Bandan…….!
MARLI : Kau tambah
gugup dan pucat Zaleha!?
SAHLI : Kalau begitu
saya pulang saja. (MAU EXIT)
MARLI : Jangan pulang
dulu pak. Rencana kita untuk mendirikan mesjid itu masih perlu dirundingkan
lagi. Terutama menganai tanahnya.
H. SAHLI : Ah, pokoknya
mesjid harus dibangun.
MARLI : Lalu mengenai
tanah dukhuh itu?
H. SAHLI : Kenapa jadi repot?
Tanah itu sudah mendapat persetujuan Ibu Siti bukan?
LANDUS : Pak Sahli. Ada apa dengan ibu saya.
H. SAHLI : Begini Landus.
Siti, ibumu telah mengamalkan tanah dukhuh, untuk kepentingan mesjid.
LANDUS : Mana mungkin
MARLI : Kenapa?
LANDUS : Tanah dukhuh itu,
milik saya. Sebab sepeninggalnya menjadi milik saya termasuk tanah dukhuh itu.
BANDAN : Dan Landus sudah
menerima uang sewa itu, untuk gelanggang adu ayam.
LANDUS : Bahkan, bila
perkumpulan adu ayam sudah punya modal, maka tanah itu akan saya jual kepada
perkumpulan.
MARLI : Mesjid jauh
dari pada ayu ayam
BANDAN : itu menurut
pandangan seorang guru agama seperti kau bang. Tapi menurut pandangan kami lain
lagi. Dari itu, berbuatlah seadil mungkin, kalau punya keinginan menjadi
seorang tokoh agama.
LANDUS : Tentu saja. Dan
keinginan itu masih belum tercapai
BANDAN : Kemukakan dong.
Biar orang lain mengetahuinya. Lebih-lebih sangat penting di ketahui oleh kedua
orang yang menanamkan didrinya tokoh agama yang di kampong ini..
LANDUS : Yang penting
diketahui oleh Pak Haji, ialah, bahwa tanah dukuh itu, adalah milik saya. Tapi
kalau mengang ada yang berkeinginan untuk membelinya, ya boleh saja.
BANDAN : Dan harganya tidak
mahal bukan ?
LANDUS : Bila penawarannya
cocok, kita tidak perlu pergi mendulang intan dan harganya bias berdamai
BANDAN : Bila nanti, uang
sudah kau terima, apakah perlu kita sembelih kambing berjanggut itu ?
LANDUS : harga tanah adalah
milikku. Dan uangnya akan kujadikan saham perusahaan kita. Tentu modal dari mu,
masih sangat di perlukan. Oleh karena itu, permata berlian masih kita perlukan
BANDAN : Baiklah. Persoalan
berlian adalah persoalan saya, berapa harganya
MARLI : Landus.
Ketahuilah, bahwa surat
menyurat penyerahan tanah dukuh itu ada pak Sahli. Juga beberapa saksi turut
menandatanganinya.
SAHLI : Dan nama saya
sebagai pihak penerimanya.
BANDAN : Artinya, kekuatan
terletak pada pak Sahli.
LANDUS : Termasuk nyawa pak
Sahli bukan? Lalu saya bertanya. Bagaimana, bias lsaya bersikeras untuk
mempertahankan tanah dukuh itu?
MARLI : Bagaimana pak
Sahli ?
BANDAN : Ya, bagaimana ?
(MENDEKATI PAK SAHLI DENGAN SIKAP MENGANCAM). Bukankah nyawa pak Sahli sebagai
jaminannya ?
MARLI : Bandan bersikaplah
dengan wajar.
BANDAN : Maafkan bang. Saya
sangat bernafsu untuk mendapatkan ketegasan pak Sahli. Ayo, Bagaimana ketegasan
pak Sahli.
SAHLI : Begini
Bandan. E……….. saya berpendapat, bahwa mesjid itu, tidak baik dibangun diatas
tanah yang masih dalam persengketaan.
MARLI : Tapi pak
Sahli. Tanah dukuh itu sudah syah menjadi milik panitia mesjid.
BANDAN : Jawab saja dengan
tegas, milik landus atau bukan ?
SAHLI : (AGAK
GEMETAR) betul,………….Eeeeee…..tanah dukuh itu…, memang syah miliknya Landus.
(JADI LEGA KARENA LEPAS DARI ANCAMAN BANDAN)
Marli : Pak
Sahli. Sampai dimana wewenang bapak untuk membuat keputusan seperti itu?
BANDAN : Sekarang bukan
ruang Tanya jawab lagi. Semua keputusan dianggap tuntas.
SAHLI : Tuntas.
Betul.
MARLI : Kita penduduk
desa pak Sahli. Artinya nilai musyawarah masih dianggap penting.
SAHLI : Musyawarah
bukan jaminannya lagi. Sudah using. Dan lagi, musyawarah itu, belum berarti
baik, sebab pendapat orang banyak belum tentu baik.
LANDUS : Ah, yang penting
keputusan seorang tetuha kampong. Apakah bang Marli, masih meragukan seorang
yang dianggap berwibawa di desa ini?
SAHLI : Harap
diperhatikan bahwa keputusan adalah keputusan. Dan sebuah keputusan tidak boleh
diganggu gugat lagi.
MARLI : Pak sahli. Mau
apa dengan keputusanmu itu, kalau membuat keputusan karena didorong oleh
perasaan takut?
BANDAN : Sebuah keputusan
harus didukung oleh mata parang dan pisau belati. Titik ! Percayalah pak Sahli,
bahwa keputusanmu itu, tidak seorangpun yang sanggup menggangu gugatnya.
Keputusan yang mutlak. Tuntas. Zaleha, karena engkau termasuk salah seorang
peserta dari perundungan hari ini, hendaknya kau resapi benar-benar arti dari
keputusan ini.
MARLI : Namun harus
kau sadari, bahwa keputusan ini, akan menelorkan rasa sakit hati.
BANDAN : Siapa yangt sakit
hati itu.
LANDUS : Kok bias sakit
hati. Kan
tanah itu memeng milikku.
SAHLI : Hahaha…….
Marli , kenapa kita harus memakan hak milik orang.
BANDAN : Selanjutnya, mari
kita pecahkan persoalan yang lain, yakni persoalan Landus dengan tanah Dukuh
itu. Bukankah dalam menggunakan tanah Dukuh itu, masih memerlukan pertimbangan
pak Sahli, hai Landus?
LANDUS : Betul, keputusan
pak Sahli sangat diperlukan.
SAHLI : Baik,
sekarang saya bertanya mau kau apakan tanah itu.
LANDUS : Maksud saya, mau
dijadikan tempat perumahan judi.
H.SAHLI : asytagfirullah.
BANDAN : Dan untuk
mendapatkan modal itu ialah dengan terlebih dahulu mendapatkan intan dan
berlian itu. Bagaimana Zaleha? Kau diam saja dari tadi. Seolah-olah kau
menyerahkan seluruh persoalan kepada suamimu, tanpa kau hadirkan martabatmu
sebagai seorang isteri dan seorang perempuan. Buaknkah hak seorang wanita itu
sama dengan laki-laki? Atau kalau sikapmu masih dibawah telapak kaki suamimu,
segera kau sampaikan keinginanku itu.
MARLI : Keinginan apa
Bandan?
BANDAN : Katakan Zaleha.
ZALEHA : Kalung berlian
ini, Bandan menghendakinya yang baru kau beli ini.
MARLI : Mau apa dengan
kalung berlian itu, Bandan?
BANDAN : Untuk modal
gelanggang adu ayam.
LANDUS : Dan gelanggang adu
ayam itu akan dibangun diatas tanah dukuh milikku itu.
MARLI : Bandan
bukankah aku ini masih kau anggap sebagai kakak iparmu?
BANDAN : justeru dari itu,
kau adalah orang yang kuanggap sebagai orang pertama yang bias membantu rencana
usahaku.
MARLI : Dengan
gelanggang adu ayam itu ?
BANDAN : itu soal usaha
MARLI : Uaha ya usaha
tapi harus kau ingat usaha apa yang bias dibenarkan oleh agama dan tuhan.
Percayalah Bandan, Tuhan akan melimpahkan rezeki kepada orang yang mau berusaha
diatas jalan kebenaran.
BANDAN : Dan Tuhan tahu,
gelanggang adu ayam itu suatu usaha diatas kebenaran !
MARLI : Saya tidak
akan menyerahkan kalung berlian itu untuk pekerjaan yang haram.
BANDAN : Zaleha, sudah
nasibmu rupanya baha inilah hari yang menghabiskan untuk melihat wajah suamimu
yang kau taati. Rupanya kau lebih mementingkan suamimu daripada berpegang
kepada amanat ayah ibu agar mengabulkan segala pintaku. Baik, sudah saatnya
untuk kematian suamimu.
ZALLEHA : Bandan nyawa suamiku
dengan perjuangan untuk kepentingan Agama jauh lebih penting dari harta benda
apapun. Ambillah kalung berlian ini. (MENUDINGKAN)
MARLI : (MERAMPASNYA) tidak. Tak akan ku serahkan untuk
kemaksiatan.
BANDAN : Rupa- rupanya,
harta benda jauh lebih penting daripada nyawamu. Pak Sahli, pergi kepada
orang-orang dan katakana bahwa saya adalah orang baik. Yang penting kau harus
berusaha untuk mengelabui mata orang-orang,bahwa dirumah ini tidak ada terjadi
apa-apa. Ini uang tambahan dan puji namaku stinggi langit. (MEMBERIKAN UANG).
SAHLI : (MENERIMA)
Baik saya akan mematuhi perintahmu. Tapi
keselamatanku tetap kau jaga bukan ?
BANDAN : Pergilah segera.
SAHLI : Baik. (EXIT)
BANDAN : Dan kau Landus,
pergilah kebelakang rumah buat lobang untuk mengubur mayat suami Zaleha.
LANDUS : (EXIT) LEWAT PINTU
BELAKANG
BANDAN : Untuk yang
terakhir, serahkan kaluang berlian itu. (MANTAP HENDAK MEMBUNUH)
ZALEHA : (MEMBELA
SUAMINYA) Ka, lebih baik kau serahkan kalung itu kepadanya. Sayangilah nyawamu
ka……….
MARLI : (TENANG DAN
AGAK MENJAUH) Zaleha. Agaknya kau lebih sayang kepadaku dari pada adikmu.
Bukankah amanat ayah ibumu Almarhum, agar kau banyak memperhatiakn dan
menyayangi adikmu Bandan?
BANDAN : Kalau memang saying
kepadaku cepat serahkan kalung berlian itu
MARLI : Kasih sayang
tidak tergantung pada kalung berlian ini, Bandan. Tapi kasih saying kepadamu,
terletak pada bantuan zaleha terhadap rencana dan usahamu yang baik. Bukannya
sayang pada kalung berlian ini. Tapi saya terlalu saying pada masa depan mu.
Andaikata kau punya rencana dan kepentingan kelompok pengajian misalnya. Biar
sepuluh kalung berlian, tidaklah aku enggan menyerahkannya. Tapi kalung berlian
ini tetap tergenggam bersama mayatku, atau tidak akan kuserahkan biar aku
dibunuh, kalau kegunaannya hanya semata untuk kemaksiatan. Nah, sekarang
kupersilahkan leherku untuk kau penggal.
BANDAN : Rupa-rupanya kau
seorang guru agama yang keras kepala. Baik dengan parangku ini, pastilah akan
memenggal lehermu. Tidak ada hokum yang akan membelamu. Disini hukum tidak
berlaku tahu, tahu ?
ZALEHA : (MEMANDANG BANDAN
DENGAN SENYUM MANIS)
BANDAN : Zaleha. Gegitu
enteng pandanganmu itu terhadapku ya. Apakah engkau juga akan mengikuti jejak
suamimu? Jejak kematian yang konyol, sekedar hendak mempertahankan harta
bendamu dan kekayaanmu ?
MARLI : (DENGAN
TENANG) Bandan. Janganlah engkau salah mengerti. Mungkin kau masih ingat,
bagaimana kisah peristiwa sedih di jaman Rasulullah? Peristiwa yang dialami
oleh kaum bangsawan muslim dalam mempertahankan harta bendanya untuk
kepentingan perjuangan Agama. Oleh karena itu, saya rela bila hari ini saya
mati dari keganasan seorang adik ipar. Sekedar untuk menghindarkan harta benda
saya dari kemaksiatan. Artinya kematian saya hari ini semata – mata untuk
keyakinan dan kebenaran. Dan bila saya sudah mati, berarti seluruh kekayaan
saya, akan saya tinggalkan namun amanat saya, kekayaan saya hanya boleh diambil
untuk kepentingan agama dan kebesaran Allah. Silahkan. Bunuhlah saya
ZALEHA : Bandan. Bukankah
sudah berulang kukatakan, bahwa semua persoalan rumah tangga kami, telah
ditangani oleh suami saya. Sebab suami saya adalah pegangan saya. Tempat saya
berpijak dan menggantungkan seluruh persoalan. Suami sayalah tempat saya
mencurahkan perasaan saya dengan segala ketulusan. Ini bukan pula berarti,
bahwa saya adalah puncak dari segala-galanya. Sebab puncak dari kehidupan ini
adalah Allah. Allah Yang Maha Agung. Allah yang menentukan. Dari itu bila hari
ini saya bersedia mati dalam tanganmu, bukan berarti mencari kematian yang
konyol dan ikut-ikutan. Tapi kematian saya, justru bertolak dari kebenaran
Allah. Nah, sekarang ……..bunuhlah saya.
BANDAN : Orang fanatik !
Suami istri yang konyol !
MARLI : Bila saya
sudah, tolong serahkan seluruh kekayaan saya kepada panitia masjid.
BANDAN : Lagi-lagi bicara
soal masjid. Mau apa dengan masjid ? Mau apa menguras harta benda untuk
kepentingan rumah mati itu ?
MARLI : Engkau
benar-benar murtad Bardan. Kau boleh bicara seenaknya tentang diriku, tapi
janga cob a rendahkan rumah ibadah. Tahukah engkau, bahwa masjid sebagai cermin
kebesaran Allah dan kehebatan Islam. Pada masjid itulah jalinan ukhuwah
islamiyah meu-yatu dan merantai ditali Allah. Dan dengan masjid pula, islam
dapat bangkit kobarkan semangat juang yang penuh dan yang penuh dan tinggi.
Mesjid bukan serobong keramaian, dan bukan pula rumah mati, Bondan.
BONDAN : Aku tidak mau tahu!
Mengerti? Yang penting bagiku, ialah rumah judi dan ka,ung berlian itu. Kalian
serahkan atau tidak!?
ZALEHA : Langkahi mayat
kami dulu ? Jadilah seorang pembunuh yang berhati serigala.
BANDAN : Ohhh Kalian membuat saya gemetar, dendam
dan,………. Dan……….Ohhh , bagaimana seharusnya saya
ZALEHA : Bagaimana kau
seharusnya? Jadilah seorang pembunuh yang berhati serigala.
BANDAN : membuat saya
kehilangan diri saya sendiri.
MARLI : Tubuhmu adalah
bayang-bayangkepalsuan,Bandan. Ragamu kelihatan kasar, tapi hati kecilmu sebuah
batu intan. Hanya saja batu intan tiu masih terendam didalam lumpur. N amun
batu intan tetap saja batu intan. Kau seorang yang baik, Bandan.
BANDAN : Oh, aku kau buat
lumpuh. Tidak! Aku harus tetap dengan diriku sendiri. Aku,
MARLI : Bandan adik
iparku. Dengan sikap ragamu itu, mengingatkan saya pada peristiwa Umar Ibnu
Khattob, yang telah menaruhkan mata pedangnya diatas leher adiknya Fatimah,
juga Zaid suaminya dan Habbab sang pengajar ayat Tuhan. Umur mereka sudah
dimata ujung pedang Umar Ibnu Khattob, sebab mereka menjadi pengikut Nabi
Muhammad. Namun karena ketabahan hati mereka serta keyakinan mereka yang kuat,
membuat Umar Ibnu Khattob lumpuh tidak bertenaga lagi. Lumpuh karena ayat Tuhan
yang memancar dihatinya. Dengan ayat-ayat Tuhan itu pulalah, sebilah mata
pedang yang tajam, tiba-tiba menjadi sepotong benang yang lembut. Umar Ibnu
Khattob lumpuh dan bersimpuh dihadapan adiknya Fatimah. Sejak itu, Umar Ibnu
Khattob menjadi pengikut Rosulullah yang pilling taat dan setia serta mel~adi
pembela agama yang ditakuti oleh orang-orang kafir Quraisy. Bukankah sejarah
Islam sudah pernah kau dengar dimadrasah dulu, bahwa Umar ibnu Khattob pernah
diangkat menjadi seorang khalifah. Islam yang gagah, bijaksana dan berwibawa?
ZALEHA : Dapat kau sadari
bukan, bagaimana sikap seorang kafir Quraisy yang dikenal sebagai singa digurun
sahara itu, menjadi seorang pemimpin Islam, sekalipun dalam sejarah hidupnya
pernah takabbur dan terlanjur.
MARLI : Lantas apakah
orang yang bernama Bandan, yang lahir sebagai muslim sejati, tidak mampu
menjadi seorang pelopor daiam mengobarkan semangat Islam? bahkan dengan dasar
pendidikanmu di madrasah Islam, kau akan mampu mengajak rekan-rekanmu yang
terdekat untuk membangun kelompok qori dan qoriah. Pengajian Kitab Suci, sangat
penting Bandan.
BANDAN : Apakah aku menjadi
seorang laki-laki yang konyol ?
MARLI : Kau seorang
yang gagah, Bandan.
BANDAN : Tapi kalian telah
melumpuhkan semangatku. bandan. Jangan salah faham. Kobar semangatmu telah
kubangkitkan dengan mengabulkan seluruh permintaanmu. Nah, terimalah kalung
berlian ini. Kau boleh menjualnya dim ana sebagiannya bisa kau gunakan untuk
kumpulan pengajian.
BANDAN : Untuk pengajian ?
MERLI : Syukur kalau
bisa seluruhnya kau gunakan.
ZALEHA : Dan bila masih kurang,
terimalah gelang emas ini, kakakmu rela memberikannaya dan rela kalau kau
jadikan uang, asal uang itu kau gunakan untuk pembangunan masjid.
BANDAN : Ohhh, aku
benar-benar lumpuh.
ZALEHA : Bangkitlah dengan semangat Islam dan keyakinan yang
teguh. mantapkan haluanmu untuk kembali kemesjid.
BANDAN : Tapi ... tapi aku
banyak berdosa, Zaleha. Bagaimana aku bisa kembali ke mesjid ?
MERLI : Mesjid sumber
dari segala-galanya. Dengan mesjid, bisa membentuk seseorang yang berjiwa
kasar, menjadi seorang yang baik hati dan lemah lembut seperti sutera. Dari
itu, pernbangunan rnesjid, menjadi perhatianku yang paling pokok dalam hidup
ini. Tempat tinggal tanpa adanya sebuah mesjid, tidak ubahnya hidup dalam
kerajaan gersang dan lalim, betapapun bangunan lingkungan hidup itu penuh
dengan kemewahan. Lingkungan hidup dengan mesjidnya. Mesjid dengan manuslanya,
menyatupadu dalarn keesaan Tuhan, dalam keangungan illahi. Dan dengan mesjid
itu pula, akan jelas sampai dimana pemerataan keadilan pemerataan kemakmuran serta
sampai dimana tingkat kehidupan social manusianya. Semua itu menitik beratkan
pada manuusia itu sendiri Bandan. Termasuk engkau, salah satunya. Engkau yang
sangat diharapkan oleh almarhum ayahmu, dan mertuaku Ustaz kiyai Haji Majantan.
BANDAN : Ya, Allah ……… Begitu besar dosaku ……………...
MARLI : Tuhan maha
pengampun. Tuhan maha dari segala-galanya.
BANDAN : Aku ………aku, telah
melanggar amanat almarhum ayahku. Ibu……….ibuku yang baik (TERSEDU SEDU),
aku……..aku berdosa . Zaleha kakakku,
maafkanlah kesalahanku, kak…….
ZALEHA : Tuhan akan
menolong orang yang mau mengakui kesalahannya. Dan Tuhan juga akan mengampuni
dosa orang-orang yang mau bertobat, Bandan.
BANDAN : Berusahalah untuk
menjauhi larangan Allah kemudian berbakti kepada-Nya
ZALEHA : Lebih baik, kalau
Landus tetap kau jadikan kawan yang akrab.
BANDAN : Landus akan menjadi
musuh saya.
LANDUS : (SANGAT GEGABAH)
Bandan. H. Sahli jadi penghianat. Dia datang ketempat ini, dengan membawa
orang-orang kampung. Orang-orang itu pasti akan membunuh kita. H. Sahli harus
kita sembelih.
BANDAN : Landus, pergilah
kebelakang. Buat satu lubang lagi.
LANDUS : Membuat satu lubang
lagi ?
BANDAN : Ya, segera kau buat.
LANDUS : Tidak mungkin.
Lubang itu cukup besar, dan bisa saja membuat dua orang mayat.
ADEGAN 7
H.
SAHLI MASUK, LALU KAGET. MELIHAT KEADAAN RUANGAN.
SAHLI : 0000, apakah
saya tidak bermimpi ?
LANDUS : (SUDAH HAMPIR
MENIKAM BELATINYA KEPUNDAK PAK H. SAHLI YANG HAMPIR LUMPUH ITU)
BANDAN : Landus.
LANDUS : Dia harus kita
bunuh!
BANDAN : Simpan pisau
belatimu. (MENGHUNUS P ARANGNY A)
ZALEHA : Bandan, jangan
kau bunuh dia. Pak H. Sahli orang baik.
SAHLI : Jangan kau
bunuh aku Bandan.
BANDAN : Orang-orang kampung
itu, kau sendiri yang membawanya bukan ? mereka berniat hendak mengeroyokku ?
SAHLI : Tidak benar
Bandan. Orang-orang kampung itu adalah muridmuridnya guru Marli, kakak iparmu.
Mereka kuberi tahu, bahwa guru Marli mati terbunuh dirumahnya. Mereka datang
untuk upacara penguburannya.
MARLI : Mereka akan
menguburkan mayat saya ?
SAHLI : Ya, saya
mengabarkannya, bahwa kau mati terbunuh Marli.
BANDAN : Siapa pembunuhnya.
LANDUS : Tentu saja kita
yang dituduhnya. Dari itu sebelum kita mati dikeroyok orang-orang itu, lebih
baik kita sendiri yang mendahuluinya. Kubunuh kau ! (MENIKAM JANTUNG H. SAHLI,
TAPI DAPAT DIHINDARKAN OLEH BANDAN)
BANDAN : Landus (MENCEGAH
DENGAN KEKUATANNYA). Engkau sahabatku yang baik. Tapi dalam bertindak harus
menunggu perintahku.
LANDUS : Engkau jadi
lamban, Bandan.
BANDAN : Jadilah pembunuh
yang berdarah dingin.
SAHLI : Dan lagi,
saya tidak pernah mengatakan bahwa engkau yang melakukannya. Saya cuma bilang
guru Marli telah mati. Itu saja.
BANDAN : 0000 .... Jadi pak
Sahli menjelekkan nama saya bukan ?
SAHLI : Tidak sama
sekali. Malah namamu telah kuangakat setinggi bintang dilangit, bahwa orang
yang bernama Bandan sedang menunggui mayat kakak iparnya dan dengan matanya
yang dendam ingin mencari pembunuh itu
LANDUS : Lantas orang-orang
diluar itu, apa sebab membawa senjata.
SAHLI : Sebab meraka
tak mau percaya dengan omonganku. Mereka tetap menuduhmu Bandan. Dan paling
tidak kawan-kawanmu. Itulah sebabnya mengapa saya mendahului orang-orang itu,
agar kau terhindar Dari dendam mereka. Sekarang ku sarankan, lebih baik, kalian
segera lari dengan melewati pintu belakang. Pergilah Bandan. Pergilah Landus.
LANDUS : Saya tidak akan
pergi, sebelum kalung berlian itu kami dapatkan.
BANDAN : Landus. Kalung
berlian itu adalah urusanku pribadi.
SAHLI : Cepat pergi
Bandan. Landus, ayo selamatkan jiwamu
MARLI : Bandan. . . ..
sebelum engkau pergi, terimalah kalung berlian ini. Terimalah (MENYERAHKANNYA)
BANDAN : (DENGAN PERASAAN
HARU MENERIMANYA)
SAHLI : Kenapa tidak
dari tadi kau serahkan kalung itu ?
MARLI : Kalau dari
tadi ku serahkan, berarti aku takut dengan kejahatan. Ku serahkan kalung itu,
disaat-saat nyawaku tidak terancam, yang berarti aku takut kepada Tuhan.
ZALEHA : Dan ini (MELEPAS
GELANGNYA) Terimalah gelangku.
LANDUS : Bandan, kita jadi
orang hebat. Kita punya modal yang kuat. Ah. Betapa hebatnya rumah judi yang
akan kita bangun. Dan, dan aku ada usul. Ditanah Dukuh milikku itu, sangat
cocok bila didirikan rumah pelacuran.
SAHLI : Masyaallah.
BANDAN : (MENERIMA GELANG
DARI ZALEHA) Zaleha, apakah perhiasan ini kau serahkan secara tulus ')
ZALEHA : Aku malu punya
perhiasan, sementara mesjid dikampung ini belum ada.
BANDAN : Kenapa tidak kau
serahkan saja untuk kepentingan mesjid ?
ZALEHA : Aku tidak boleh
menyesal. Bandan. Barang perhiasan itu sudah menjadi milikmu. Sedang aku dan
suamiku sudah tidak berhak lagi. Terserah olehmu, mau kau gunakan untuk apa
saja, terserah olehmu. Aku tak punya apa-apa lagi sekarang. Uangku seluruhnya
sudah suamiku serahkan untuk kepentingan mesjid.
BANDAN : Siapa panitia
pembangunan mesjid itu.
MARLI : Pak Sahli
sendiri.
BANDAN : Pak Sahli. Bukankah
kalung berlian dan gelang emas ini ku peroleh dengan memaksa kakakku ?
MARLI : Perhiasan itu
sudah jadi milikmu Bandan.
BANDAN : Kalau begitu,
perhiasan ini ku serahkan kepada pak Sahli.
SAHLI : Kenapa?
BANDAN : Ku serahkan untuk
diamalkan. Jualah dan uangnya kusumbangkan untuk pembangunan mesjid.
SAHLI : (MENERIMA
DENGAN GUGUP) Kok, banyak sekali. Tapi apakah halal, sumbangan ini ? Marli
MARLI : Pak sahli, kau
tidak boleh meragukan amal seseorang. Tugas Pak Sahli ialah bagaimana
menggunakan amal dan sumbangan orang itu secara benar dan jujur.
LANDUS : Bandan. Bukankah
hasil yang kita peroleh bersama, harus dibagi dengan sama pula ?
BANDAN : Mau apa kau dengan
rezeki yang kuperoleh itu.
LANDUS : Bagian ku harus
kau serahkan, dengan tidak mengurangi barang sepeserpun. Kalau bukan kalung
berlian itu, paling tidak gelang emas.
BANDAN : Untuk apa?
LANDUS : Rumah judi harus
didirikan diatas tanah dukuh itu.
BANDAN : Landus. Rumah judi
itu hanya bisa berdiri, bila engkau bisa membunuh ku.
LANDUS : Murtad ! Kau
murtad, Bandan.
SAHLI : Hahaha.
'" .siapa yang murtad, hei Landus ? pendiri rumah judi atau pendiri mesjid
?
BANDAN : Landus. Kau
sahabatku yang dekat. Kesmpatan yang baik, masih ku berikan, bisakah engkau
rnendampingiku, untuk membawa remaja berandel, berperang dijalan Allah ? Tapi
kalau engkau keberatan, antara kita berdua, berarti akan berperang.
SAHLI : Akhirnya,
kawan baik jadi lawan. Dan lawan menjadi Kawan Kita tetap berkawan, hei Bandan.
BANDAN : Nah, bagaimana
sahabat ku Landus ?
SAHLI : Bandan. Jangan
hiraukan dia. Lebih baik kita hadapi orang-orang diluar itu, dan saya akan
umumkan tentang kebaikan dan kehebatan mu. Mari (MAU EXIT).
LANDUS : Pak Sahli.......
Kau masih mengakui bukan, bahwa tanah dukuh itu milik ku ?
SAHLI : Tanah dukuh
itu, tanah haram ! mari Bandan.
LANDUS : Tapi .... Oh,
bagaimana saya mengatakannya
BANDAN : Mau bilang apa kau
hei Landus ? mau mengajak aku barkelahi " boleh , dimana saja. Pilih
olehmu.
LANDUS : Bukan itu maksudku
Bandan.
BANDAN : Lalu mau apa
sebenarnya kau. Hah. .? Sebenamya ... E ... E ... tentang tanah Dukuh itu ?
SAHLI : Apa yang kau
pikirkan ? jual saja tanah itu dan uangnya kau bawa berjudi. Kan beres
LANDUS : Tidak Bandan,
sebenarnya aku ingin mengikuti jejakmu, tapi ..... aku malu
ZALEHA : Malu kenapa ?
bukankah Bandan adikku, kalau perlu aku akan menolongmu kalau kau memang mau
insyaf.
LANDUS : Malu karna aku
tidak punya apa-apa, malu karna aku tidak bisa memberikan sumbangan untuk
pembangunan mesjid itu
MARLI : Bukankah tanah
Dukuh itu kau akui sebagai milikmu ? tidakkah kau rela menyumbangkan untuk
pembangunan mesjid ?
BANDAN : Betul sekali,
panitia mesjid mencari tanah yang tepat untuk membangun mesjid
ZALEHA : Betul sekali
Landus. Kau kan
punya kekayaan yang hebat. Tanah Dukuh itukan milikmu
SAHLI : Menurut
keputusanku. Tanah Dukuh itu penting untuk tempat membangun mesjid
LANDUS : Kalau begitu,
kurelakan saja tanah Dukuh itu. Terimalah tanah Dukuh itu sebagai sumbanganku
MARLI : Alhamdulillah.
Terkabullah doa-doaku
SAHLI : Harap
diperhatikan. Saya atas nama orang tua dan orang terpandang dikampung ini,
setelah memperhatikan, menimbang dan sebagainya memutuskan bahwa tanah Dukuh
sudah menjadi milik panitia mesjid. Keputusan sudah dianggap tuntas, tidak bisa
diganggu gugat. Mari kita hadapi orang-orang di luar itu
SELESAI
Banjarmasin, 27 Maret 1979
Buat ELDINAR RAIN
Anakku yang rewel dan lucu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar