Senin, 20 Februari 2012

PERANG BANJAR HAMPIR BERAKHIR


NASKAH PETILAN


PERANG BANJAR HAMPIR BERAKHIR

KARYA: H. ADJIM ARIJADI








Reproduksi naskah
YAYASAN SANGGAR  BUDAYA KALSEL
SEKR        : JL. CEMARA RAYA KOMPLEK PERUMNAS
          BLOK V NO.38 RT. 25 GG. ANGSANA III
                   BANJARMASIN 70123 TELP. 0511-3302650


Adegan I
T. Silam         :   Jangan koba kau memancing-mancingku.  Kau toh tidak akan berhasil menunda kematianmu (MENGELUARKAN TALI PENGIKAT) Sekarang kau serahkan kepadaku, kedua tanganmu itu.
Layang          :   Tidak.  Kau tidak bias berbuat sewenang-wenang.  Aku punya hak, untuk menuntut kebenaran diriku Aku menuntut kematianku, dialas kebenaran, bila hokum menyatakan aku bersalah.  Namun diriku yang tak pernah ternodai oleh siapapun, tak mau menghadapi kematian dengan caramu itu.
T. Silam         :   Sudah berulang kali kukatakan, aku tidak memerlukan hukum kerajaan itu.  Aku bukan warganya yang mau tunduk terhadap peraturan-peraturan.  Peraturan Kerajaan Banjar bagiku tidak lebih dari peraturan pemerintah yang masih mencoba dan meraba-raba.  Hukum dan peraturan yang disusun selama ini, omong kosong.
Layang          :   Tidak
T. Silam         :   Kau tidak bisa mengelak.  (INGIN MENYERGAPNYA).  Jangan coba-coba memaksaku untuk membunuhmu dengan keji.

Adegan 2
PADA SAAT ITU MUNCUL ZULEKHA, KEMUDIAN DISUSUL OLEH PANGLIMA BATUR
P. Batur             :     Tumenggung
T. Silam             :     Bagus sekali, Pucuk dicinta ulam tiba
NARRATOR    :     PADA AKHIRNYA, NIAT BURUK TUMENGGUNG SILAM YANG INGIN MENGHABISI NYAWA ISTRINYA YANG MUDA, KEPERGOK JUGA OLEH PANGLIMA BATUR DAN SRIKANDI ZULEKHA
Zulekha             :     Tumenggung Silam.  Mau kau apakan istrimu Layang ?
T. Silam             :     Mau mengadilinya.  Dengan maksud apa dating kemari ?
Zulekha             :     Dari jauh kudengar ada jeritan seorang wanita.  Kemudian kami cari.  Ternyata jeritan itu adalah jeritan istrinya.  Dia akan kau adili secara keji ?
T. Silam             :     Itu terserahku
Zulekha             :     Akan kau gantung dia ?
Layang              :     Suamiku main hakim sendiri.  Dia akan membunuhku
P. Batur             :     Akan membunuhmu? Ah, tidak segampang itu.  Tumenggung, Silam tidak akan membunuhmu Layang, sehingga aku masih ada di muka bumi ini.
T. Silam             :     Tidak salah dugaannku Layang ! Kau tidak akan pantas untuk diampuni ! Kubunuh kau !
DENGAN SECEPAT KILAT MANDAUNYA TERHUNUS, TAPI SECEPAT KILAT PULA ZULEKHA MENGHALANGINYA, SELANJUTNYA PANGLIMA BATUR MENGAMBIL KESEMPATAN PULA HENDAK MENEBASKAN PEDANGNYA YANG PANJANG KEPADA TUMENGGUNG, SILAM TAPI BERHASIL PULA DIRINTANGI ZULEKHA
Zulekha             :     Atas permintaan seorang wanita, kiranya kalian sudi bersedia menyarungkan kembali senjata kalian. Kelaki-lakian kalian ternyata takluk kepada nafsu yang berlebihan.  Ini akan berarti kalian kehilangan makna kesatriaan yang hakiki. Tumenggung Silam. Apakah arti dai jasa-jasa pertimbanganmu selama Tumenggung mendampingi ayahku Panambahan Gusti Muhmammad Seman dan kakekku Panambahan Antasari selagi beliau masih ada. Hanya karena persoalan kecil. Hanya untuk kepentingan pribadi. Hanya karena persoalan kecil. Hanya untuk kepentingan pribadi. Memuaskan nafsu sendiri ini kepentingan pribadi namanya.
T. Silam             :     Tapi ini urusan saya. Urusan keluarga. Kenapa mesti Ratu campuri?
Zulekha             :     Siapa bilang. Urusan perempuan, Cuma urusan Tumenggung sendiri. Sarungkan senjata Tumenggung.
T. Silam             :     (MENYARUNGKAN SENJATANYA) Mhhh…perempuan selalu membawa keonaran.
Zulekha             :     Saya seorang perempuan. Begitu enteng kau pandang kaum hawa. Inilah sebabnya, mengapa persoalan pribadi kalian berdua ingin saya tengahi. Ini disebabkan oleh karena terpanggilnya saya untuk menempatkan posisi kaum hawa di tempat selayaknya. Selama ini, mereka dianggap sebagai babu rumah tangga, mengurusi anak, tempat tidur cuci piring mangkok, menanak nasi dan memijati suami. Cuma itu.
P. Batur             :     Tapi tidak semua lelaki seperti yang Ratuku sebutkan. Oleh karena itu saya berani mengatakan bahwa si Putri Layang tidak akan mati terbunuh oleh suaminya selagi saya masih ada.
Zulekha             :     Kerajaan ini kita punya Badan Pengadilan Agama. Dan persoalan kalian berdua akan lebih bijaksana bila disidangkan dalam kerapata Qadi Kerajaan disini.  Ini berarti dihargainya kaum hawa oleh Tumenggung. Tidak menghakimi  sendiri ini bukan zamannya.
T. Silam             :     Tapi tahu apa kalian bedua tentang perasaan yang mendendam di hati saya. Dan tahu apa kalian tentang perasaan seorang suami yang dipermainkan oleh keserongan istrinya?
Zulekha             :     Tumenggung tahu bukan, bahwa satu-satunya wanita yang terjun ke medan perang sampai menderita korban tertipunya suamiku lalu ditawan. Bagaimanakah pula perasaan suami saya di dalam kamp tahanan Batavia. Membiarkan istrinya meneruskan cita perjuangannya? Setiap orang di dalam pasukan kita.  Punya perasaan dan punya pengorbanan. Tapi semuanya dicurahkan untuk berperang secara ksatria di dalam pertempuran melawan musuh.
Layang              :     Ratu. Suamiku menuduhku serong dibelakangnya. Sedeng saya belum pernah merasakan adanya keserongan itu.
Zalekha             :     Lebih-lebih lagi, adanya kekaburan dalam persoalan ini.
T. Silam             :     Tidak heran, kalau Pelanduk melupakan jerat.  Tapi jerat tak akan melupakan Pelanduk.  Sudah umum kalau yang bersalah itu, tidak merasa bersalah.  Kadang-kadang ia merasa benar, sebab ia terhanyut oleh kenikmatan itu, lalu melupakan dosa-dosanya. Dan dalam hal ini, engkau berdosa Layang !
Layang              :     Aku tidak terima. Dan aku tidak rela.  Kuminta agar kau menceraikan aku.
P. Batur             :     Betul. Tindakanmu bagus sekali, Layang.
T. Silam             :     Lalu setelah putri yang manis itu kucerai, kau langsung saja  memasuki bulan madu. Begitukah hai pahlawan sampai kaputing ? Engkau Batur, benar-benar seorang laki-laki yang menggunting kain dalam lipatan.
P. Batur             :     Masih juga kau bawa persoalan diriku
Zulekha             :     Janganlah Tumenggung libatkan pribadi Batur.  Lebih-lebih kanda Batur adalah Panglima kita.
T. Silam             :     Kepanglimaan Batur selama ini, tidak berarti apa-apa bagiku. Dulu dia memang pahlawan tapi kepahlawanannya sekarang sudah luntur oleh noda dan dosa-dosanya.
P. Batur             :     Apa yang dimaksudkan suamimu ?
Layang              :     Suamiku menuduhku, bahwa aku berbuat serong dibelakangnya. Prasangkanya, gara-gara malam itu, aku berkunjung ke tempat panglima.
P. Batur             :     Ini soal nama. Hei Tumenggung sudah sejauh mana kau sebarkan kebohongan ini?
T. Silam             :     Bukan kebohongan, tapi jelas adalah kenyataan. Dan panglima tidak usah kuatir kalau nama panglima kusebarkan. Tidak. Perbuatan jahat itu cukup kalau kucatat sendiri.  Namun sebagai tindakan yang sudah masuk kupertimbangkan, ialah membunuh istriku Layang.
P. Batur             :     Kau jadi nekat, hendak membunuhnya ?
T. Silam             :     Tentu engkau jadi keberatan. Ini dapat dibenarkan, sebab kasih saying kalian berdua sudah membabi-buta. Batur, kenanglah olehmu, bahwa dengan perbuatanmu yang gila-gilaan dengan istriku Layang, bagiku namamu itu bukanlah seorang pahlawan. Tapi engkau seorang pengecut.
P. Batur             :     Kalau begitu, hunus mandaumu. Buktikan kepahlawananmu itu. Tempat boleh kau pilih. Di sini atau di pinggir pantai. Ayo?
Zulekha             :     Tidak perlu
P. Batur             :     Saya mau buktikan, siapa sebenarnya yang pengecut
Zulekha             :     Tidak perlu
P. Batur             :     Saya mau buktikan, siapa sebenarnya yang pengecut
Zulekha             :     Bukanlah saatnya. Dan bukan pula medannya
T. Silam             :     Musuh tidak kucari-cari dalam kerajaan ini. Tapi daripada Tumenggung malu maka musuh yang menantangku, akan siap kulayani (SIAP)
Zulekha             :     Tidak perlu, katakana ! Sikap kalian berdua bukan untuk mempertahankan nama kepahlawanan, tapi justru ingin memperebutkan nama kepengecutan!. Tapi kalau kalau kalian masih bersikeras hendak mencari kematian dengan cara yang tidak kusetujui ini, maka kalian kutentang.  Nah, sekarang aku tidak pilih bulu, siapa saja boleh maju menghadapiku.

DIKEJAUHAN TERDENGAR ABA-ABA TANDA TERLIHATNYA MUSUH. KEADAAAN JADI TEGANG.
NARRATOR    :     PADA AKHIRNYA PERSOALAN TUMENGGUNG SILAM DENGAN ISTRINYA PUTRI LAYANG TIDAK TERSELESAIKAN.  DEMIKIAN DENGAN PEREBUTAN NAMA KEPAHLAWANAN DAN NAMA KEPENGECUTAN MENJADI USAI SEBAB DENGAN TIBA-TIBA TERDENGAR ABA-ABA, BAHWA PENYERBUAN BELANDA SEGERA TIBA. INILAH SAAT PENYERANGAN YANG SUDAH DIRENCANAKAN LETTENANT CHRISTOFFEL BERSAMA TUMENGGUNG SILAM. PERANG YANG AKAN MENENTUKAN TERUS ATAU BERHENTINYA PERANG BANJAR.
Layang              :     Ratu, Tanda musuh menyerang
Zulekha             :     (PAUSE) Baik, perebutan nama dengan cara konyol seperti ini kita urungkan.  Sekarang saat yang tepat, untuk kembali mempertahankan nama.  Layang, mari ikuti aku.

ZULEKHA KELUAR BERSAMA LAYANG. KEMUDIAN DISUSUL OLEH PANGLIMA BATUR, LALU TUMENGGUNG SILAM.

NARRATOR    :     (DALAM DALANG)
                                TACARITA PANAMBAHAN GUSTI MUHAMMAD SEMAN YANG BERSIAP TERJUN KE MEDAN PERANG SETELAH DIDENGARNYA LAPORAN BAHWA MUSUH ADA DI PERAIRAN.
NARRATOR    :     (DALAM SOSOK RITMIS, SAMBIL MENYIAPKAN RUANG SEMENTARA DALANG MENUTURKAN KEJADIAN)
BABAK III
SEBUAH RUANG PERSIDANGAN KERAJAAN BANJAR DI PEDALAMAN KALIMANTAN TENGAH.  DINDING RUANG KELIHATAN GELAP SEBAB BAHAN-BAHANNYA TERDIRI DARI KAYU ULIN, PERSIS DI TENGAH PANGGUNG ATAS ADA KURSI TEMPAT DUDUKNYA PANAMBAHAN DENGAN SISI SEBELAH-MENYEBELAH AGAK KE BELAKANG ADA BEBERAPA PUCUK SENJATA. ADA BEBERAPA TRAP UNTUK DUDUKNYA PARA PEMBESAR KERAJAAN SEBUAH BENDERA DENGAN LAMBANG KERAJAAN YANG TERIKAT PADA TIANGNYA. TERLETAK SENDIRI. RUANG MASIH KELIHATAN SAMAR-SAMAR, YANG TAMPAK SECARA TOTALITAS CUMA SEPERTI HALAMAN DI DALAM BENTENG.
NARRATOR    :     (DALAM LAKON DALANG)
                                MARILAH KITA BUKA LEMBARAN BARU
                                SEBUAH LEMBARAN LANJUTAN MASA LALU
TAPI DISINI, TIDAK SEORANGPUN YANG TAU
ADANYA KEJADIAN YANG MEMBUAT HATI PILU

DISINILAH WADAHNYA SELAKON TIPUAN
SEORANG PELAKU BERSAMA TUMENGGUNG SILAM
DIHATINYA DENDAN TAK BERKESUDAHAN
TIDAKLAH DIA PUAS KALAU BUKAN KEHANCURAN

ADEGAN 1
DI LAPANGAN BENTENG, KARANG DARAH, KELIHATAN BEBERAPA PRAJURIT PERANG BANJAR SIBUK BERLATIH SILAT
NARRATOR    :     (DALAM LAKON RITMIS)
NAH, SEKARANG SANG NASIB
MULAI BERLOMBA DENGAN SANG WAKTU
DAN APAKAH DIANTARA KITA YANG PASTI TAHU
SIAPA DIANTARA KITA YANG MENJADI PENENTU
NAMUN KAMI KEPINGIN CUMA MENJADI SAKSI
AGAR TIDAK TERLIBAT KE DALAM HATI DENGKI
DARI ITU KAMI INGIN SEMBUNYI
SEBAB GARIS SANG NASIB HARUS DITEPATI

BUNYI GEGAR MERIAM DI KEJAUHAN

Prajurit 1           :     Kompeni Walanda
Prajurit 2           :     Kita diserang ?
Prajurit 3           :     Yah, kita dikepung
Orang-orang      :     Kita akan mati konyol (PANIK DALAM GERAK, GADUH DALAM BUNYI)
NARRATOR    :     (DALAM LOKASI RITMIS)
                                BETUL, KALIAN DISERANG KALAIN TERJEBAK
                                Hahaha, KALIAN MASUK PERANGKAP
                                ASTAGA! KAMI JADI TERLANJUR
                                KAMI SUDAH TERLIBAT DI MEDAN TEMPUR
TAPI KAMI TAK BOLEH MUNDUR
KEKUATAN TAK BOLEH KENDUR


 MENYATU DALAM KERICUHAN
Prajurit 1           :     Kompeni Walanda!
Orang-orang      :     Oh, ampun beribu ampun tuanku Panambahan
G.M Seman       :     Musuh mengepung kita?
Orang-orang      :     Perintahkanlah kami
                                Kita tak boleh lari.
 G.M Seman      :     Betul. Haram bagi kita lari, tapi musuh harus kita hadapi. Kita harus berani sekalipun tanpa dengan senjata api.
Prajurit lain        :     Panambahan pintu gerbang hamper kebobolan
G.M Seman       :     Kemanakah Batur panglimaku? Dan Zulekha putriku?
                                (MELIHAT KE SUATU ARAH) Zulekha, Batur.
Zulekha             :     Ayahanda Panambahan
G.M Seman       :     Bagaimana pertahanan kita? Batur.
P. Batur             :     Komando untuk seluruh prajurit sudah dilaksanakan. Penambahan kita diserang dari empat arah.
G. M Seman      :     Begitu cepat serdadu Belanda mengisi posisi. Serangan dari empat jurusan?
Zulekha             :     Artinya kita kekurangan prajurit
P. Batur             :     Di arah pintu gerbang, prajurit-prajurit cukup diandalkan. Tapi di tida arah lainnya, kekuatan kita lemah sekali. Tiga arah tersebut masing-masing hanya dibekali satu meriam Lila. Kekuatan dikerahkan pada arah pantai. Tapi percalah panambahan, Benteng Karang Darah, dengan system dinding batang-batang bersilang, pastilah tidak akan memudahkan musuh masuk ke dalam benteng.
Prajurit lain        :     Panglima. Pintu gerbang kebobolan
P. Batur             :     Pintu gerbang bobol? Panambahan. Ini mengherankan
T. Silam             :     (MUNCUL) Serangan musuh tidak mungkin dapat terelakkan. Lihatlah kembali di pintu gerbang sana. Ribuan serdadu Marsose dengan pimpinan langsung Perwira Christoffer Houtman
Zulekha             :     (MELIHAT LEWAT PINTU KE KEJAUHAN)
                                Betul, ayahanda. Dengan jelas pasukan marsose
P. Batur             :     Belanda Keparat!! Begitu berani memasuki wilayah benteng ini? Hei serdadu Marsose. Tunggu Batur di situ! (MENGHUNUS PEDANG DAN INGIN KELUAR)
G. M Seman      :     Panglima, Kendalikan perasaan. Perang yang dilandasi oleh emosi akan lebih menguntungkan pihak lawan. Saya tidak ingin melihat kalau engkau mati dengan sia-sia.
P. Batur             :     Tapi saya tidak boleh membiarkan para prajurit menjadi korban.
Zulekha             :     Bagaimana ayahanda? Apakah ayahanda perkenankan nanda bertarung di lapangan?
G. M Seman      :     Bertarung tanpa dikawal prajurit?
Orang-orang      :     Kami siap mendampingi
G. M Seman      :     Kalau  begitu hadapi saja musuh di luar
P. Batur             :     Dan saya harus  mendampingi Panambahan
T. Silam             :     Apa? Seorang panglima perang kali ini tidak ingin terjun ke medan Perang? Panambahan. Apakah panglima yang kita miliki sekarang ini seorang panglima pengecut?
G. M Seman      :     Batur, panglimaku. Aku tidak perlu dikawal. Peluru emas yang dihasilkan dari tapa dan amalan darah dagingku, sudah cukup melindungiku. Bertempurlah bersama zulekha.
P. Batur             :     Tapi Panambahan/
T. Silam             :     Tidak  usah khawatir. Aku sendiri yang akan mendampingi panambahan disini.
Layang              :     Engkau akan melindungi panambahan?
P. Batur             :     Kau meragukannya layang? Bukankah dia suamimu?
Layang              :     Betul dia suamiku. Tapi????!!!
T. Silam             :     Engkau layang, jangan suka mencampuri urusan kerajaan dan urusan perang. Engkau wanita tidak pada tempatnya. Urusi dapur dan tempat tidur. Itu saja. Dan siapakah diantara kalian yang masih meragukan keberanian Tumenggung silam?
Layang              :     Panambahan,…
Zulekha             :     Waktu jangan terbuang percuma Layang. Pegang senjata ini. Pertahankan dirimu, sekalipun engkau seorang wanita, tapi kau harus sanggup. Pergilah bersembunyi. Ayahanda, .kami pergi
G.M. Seman      :     Zulekha, jangan lupa selendang kuningmu. Dan ini pertahankan bendera kerajaan sampai titik darah yang penghabisan. Pertahankan dengan harapan mati syahid. Isi urat tulang kalian dengan rasa kemanusiaan yang menuntut kemerdekaan. Perjuangan kita adalah benar, mantapkanlah tekad kalian. Komandangkanlah semboyan perjuangan. Ingat kebiasaan ayahanda almarhum Panambahan antasari. Haram Manyarah.
Semuanya          :     Haram Manyarah
                                Waja Sampai Kaputing
                               
SEGELINTIR PASUKAN ITU BERGERAK DIBAWAH PANJI-PANJI KERAJAAN. SEMANGAT JUANG MEREKA BERKOBAR DIIRINGI SUARA “ALLAHUAKBAR, DAN LAGU PERJUANGAN. SUARA-SUARA ITU MAKIN MENGHILANG. LETUSAN-LETUSAN BEDIL MULAI TERDENGAR.
Adegan 2
G. M Seman      :     (SEDIKIT TERPERANJAT MENDENGAR DENTUM MERIAM DI LUAR KEMUDIAN MAU MAJU SETELAH MENGAMBIL SENAPANNYA)
                                Zulekha!!
T. Silam             :     Panambahan. Simpang siur peluru di halaman keraton sangat membahayakan, jadi jangan coba-coba kita menengoknya.
G. M Seman      :     Aku punya firasat aneh, Tumenggung. Aku justru mengkhawatirkan keselamatan putriku Zulekha dan seluruh prajurit kita.
T. Silam             :     Pertahankanlah tahtadan mahkota di tempat duduk tuanku panambahan.
                                (MELIHAT KE PINTU LALU BERBALIK) Panambahan, sepasukan serdadu Marsose menuju tempat ini.
G. M Seman      :     Mereka bisa menembus perlawanan Zulekha dan Panglima Batur?
T. Silam             :     Mana mungkin serangan bisa dipertahankan, jumlah musuh terlalu banyak. Tidak seimbang dengan kekuatan kita. Bagaimana Panambahan, dengan pasukan marsose itu?
G. M. Seman     :     Hadang saja mereka di muka pintu. Dan aku menyiapkan diri dengan kekuatan 3 biji peluru emas ini.
T. Silam             :     Tapi sebaiknya peluru emas tuanku itu kugunakan untuk menumpas serdadu itu dari muka pintu
G. M Seman      :     Peluru emas ini tidak boleh lepas dari diriku. Sebab apabila tidak mengenai sasarannya, besar kemungkinan akan mengenai tubuhku.
T. Silam             :     Percayalah Panambahan. Peluru emas itu akan kubidikkan tepat pada serdadu-serdadu di luar pintu kraton ini. Percayalah pada saya.
G. M Seman      :     (DIWAJAHNYA TAMPAK SUATU KERAGUAN, SEHINGGA TIDAK TERLIHAT TANDA-TANDA UNTUK MENYERAHKAN SENAPAN ITU)
T. Silam             :     Panambahan ragu terhadap hamba? Oh, Kenapa mensti diragukan? Tidakkah panambahan sadari bahwa umur kita masing-masing jauh berbed. Hamba jauh lebih tua dari Panambahan dan Panambahan lupa bahwa Almarhum Panambahan Antasari bersaudara angkat dengan hamba dan menjelang wafatnya, ayahanda Panambahan telah beramanat kepada hamba, agar hamba menjagakan keselamatan Panambahan. Nah, mengapa Panambahan mesti meragukan jaminan hamba?
G. M. Seman     :     Senapan dengan 3 biji peluru emasnya, hanya bias digunakan bila keselamatan jiwa ponanda sudah berada di puncak kegawatan.
T. Silam             :     Keadaan tahta sudah mendekati keruntuhan, dan keselamatan Panambahan termasuk keselamatan nyawa hamba sudah di puncak kegawatan. Mau apa kita disini. Apakah menanti takdir dengan berdiam diri sampai pasukan Marsose itu menawan kita?
G. M. Seman     :     Biarkan serdadu Belanda itu masuk ke ruangan ini, dan Poanandaakan segera menumpaskannya dengan peluru emas ini.
T. Silam             :     Apa? Poananda Panambahan akan membiarkan serdadu-serdadu itu menginjakkan kakinya di ruangan keratin ini? Ponanda Panambahan serdadu-serdadu itu orang kafir. Haram bagi kita untuk menjamahnya. Dan bila kaki serdadu-serdadu itu sampai menginjak lantai kerajaan ini, berarti ponanda membiarkan najis mengotori lantai yang suci ini. Tidak. Hamba tidak akan membiarkan orang-orang kafir itu memasuki keratin ini. Biarlah pamanda akan menjadi korban, menghadang pasukan serdadu Belanada di muka pintu, tanpa menggunakan sejata (MELEPASKAN MANDAU YANG TERIKAT DI PINGGANGNYA. LALU SIAP MENUJU PINTU KELUAR)
G. M Seman      :     Apakah pamanda tidak menggunakan senjata yang ada?
T. Silam             :     Apa artinya dari perlawanan kita kalu Cuma menggunakan senjata tajam. Ini lawan yang patut  untuk menantang peluru dan mesiu. Dan bila pamanda tanpa senjata, ini berarti pamanda akan mati konyol dimusnahkan oleh peluru senapan musuh. Nah, jagalah tahta Panambahan. Tapi akan jelas terjadi, bila pamanda mati maka serdadu Marsose  yang kafir dan keparat itu, segera akan menginjakkan kakinya di lantai yang suci ini. Jagalah diri ponanda baik-baik.
G. M Seman      :     Pamanda. Sayangilah nyawa pamanda, selagi kita masih punya kemampuan dan kekuatan.
T. Silam             :     Tapi bagi paman, lebih baik mati sebagai pahlawan dalam pertempuran tanpa senjata yang sepadan.
G. M. Seman     :     Tidak Pamanda. Bekailah keberanian pamada dengan 3 peluru emas ini.
T. Silam             :     Jangan Ponanda, pamanda justru menginginkan keselamatan nyawa dan tahta ponanda dengan peluru betuah ini.
G. M. Seman     :     Maafkan pamanda. Kalau pada mulanya ponanda menolak permintaan pamanda naiklah. Ponanda ikhlas memberikan senjata ini
T. Silam             :     (BURU-BURU MELIHAT KELUAR LALU KEMBALI)
                                Ponanda, selamatkan tahta dan nyawa ponanda. Hey Belanda kafir jangan kau coba menginjakkan kakimu yang haram itu ke tangga istana. Tunggu Tumenggung Silam distu. Hei Keparat, kalian tahu bagaimana tumenggung siolam melwan kalian untuk kepentingan syahid ?
G.M Seman       ;     Pamanda (MENDEKATI T SILAM LALU MEMBERIKAN SENJATA YANG BERISI PELURU EMAS)
                                Terimalah senjata ini. Senjata darah daging ponanda. Terimalah (DITERIMA T. SILAM) dan jangan lupa, inilah puncak kepercayaan yang ponanda serahkan kepada satu-satunya orang yang ponanda percayai. Tidak kepada Gusti Muhammad Said, saudara kandung ponanda. Tidak kepada Batur, panglima kepercayaan ponanda. Atau kepada Zalekha, putrid kesayangan ponanda. Justru kepada pamanda. Gunakanlah semau ponanda
T. Silam             :     (SETELAH MENERIMANYA). Diserahkan kepada Pamanda ?
G. M Seman      :     Gunakanlah semau ponanda
T. Silam             :     Baik. Terimakasih atas rela dan ketulusan ponanda. Tentunya ponanda menyerahkan keselamatan ponanda kepada paman bukan ?
G. M Seman      :     Tiga Peluru emas itu, ponanda percayakan sepenuhnya kepada pamanda. Peluru ynag sudah menyatu padu dengan darah daging ponanda. Hadapilah pasukan Marsose di luar sana.
T. Silam             :     Ponanda Panambahan. Apakah pamanda sudah menyadari bahwa benteng terakhir Perang Banjar disini sudah berada di puncak kehancurannya.
G. M Semen      :     Namun dengan semangat. Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing yang diwariskan ayahanda Panambahan Antasari almarhum, tidaklah akan menggoyahkan prajurit-prajurit yang bertempur di tengah medan.
T. Silam             :     Itu tidak benar ponanda Panambahan. Semangat Haram Manyarah sudah berada di pihak lawan
G. M. Semen     :     Apa yang pamanda Tumenggung maksudkan ?
T. Silam             :     Maksud pamanda, keunggulan berada di pihak pamanda
G. M. Seman     :     Apa ? pamanda sudah berada di pihak lawan ?
T. Silam             :     Jangan diherankan, bila nasib dan takdir suatu suku bangsa bisa diatur menurut taktik dan logika. Tak lepas dari takdir seseorang yang selalu pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Demikian halnya dengan takdir ponanda Panambahan pamanda sudah sudah bisa memperhitungkannya. Kapan ponanda sampai pada takdir yang menyedihkan hati. Dan kapan akhir dari perang Banjar ini.
G. M. Semen     :     Ponanda sudah takabbur
T. Silam             :     Takabur? Pamanda kira tidak, Ponanda Panambahan bukanlah hanya dengan peluru emas yang diperoleh dengan puja dan tapa ini, yang bisa menyadari hidup ponanda ?
G. M. Semen     :     Pamanda
T. Silam             :     Janganlah ponanda bergerak dari kursi kerajaan ini.
G. M. Seman     :     Pamanda berkhianat ?
T. Silam             :     (KETAWA KURANG AJAR)
NARATOR      :     PADA AKHIRNYA TEBAKAN DARI SUATU TEKA – TEKI SUDAH DAPAT DI JAWAB. MUSUH DALAM SELIMUT, TIDAKLAH JARANG TERJADI DI ANTARA SANAK DAN KELUARGA. JATUH – MENJATUHKAN. FITNAH – MENFITNAH DAN SALING MEMBUNUH. INILAH CIRI UMUM DALAM MEMPEREBUTKAN KEKUASAAN DAN KEINGINAN MERAIH KEUNTUNGAN PRIBADI. BEGITULAH HALNYA DENGAN T SILAM, SEORANG SAHABAT TERBAIK PAHLAWAN ANTASARI DENGAN TIBA-TIBA INGIN MEMBUNUH PENAMBAHAN DI SAAT PRAJURIT NPERANG DI MEDAN PERTEMPURAN.
T. Silam             :     (MELIHAT KELUAR) mau apa zulekha itu kemari ?
G. M. Seman     :     pamanda sebaiknya sebelum zulekha mengetahui niat buruk pamanda, tembakanlah peluru emas itu kepada belanda.
T. Silam             :     Lalu pamanda menerima kematian hanya dengan mandau pamanda ini ? begini saja, sebelum zulekha mengetahui pamanda akan menodongkan mulut senapn ini di belakang ponanda. Dan bila zulekh masuk, perintahkan dia agar terus bertempur sampai mati. Tapi bila ponanda berkata yang menyimpang dari keinginan pamanda, maka zulekha akan menjadi korban peluru emas ini (PINDAH POSISI).
Zulekha             :     Ayahanda muncul. (MUNCUL)
G.M. Seman      :     Zulekha, kau kewalahan menghadapi lawan ? hah ? sanggulmu terputus ?
Zulekha             :     Kita harus mencari perlindungan baru ayahanda.
G.M. Seman      :     Dengan mengundurkan diri dan pasukan dari pertempuran ?
T. Silam             :     Tepatnya : pasukan perang banjar mengalami kekalhn zulekha. Mundur bukan berarti jiwa seorang patriot. Kakekmu pangeran antasari tidak menghendaki anak cucunya lari terbirit-birit sebagai seorang pengecut. Kakekmu tidak pernah mengenal kalah. Nah, warisi keberanian kakekmu itu. Atau kalau memang engkau takut, biarlah diriku yang sudah tua ini menggantikan mu di medan perang. Penambhan. Perintahkan zulekha dan panglima batur menyelamtkan diri.
G.M.Seman       :     Zulekha, tentunya kamu ingin menyelamatkn ayah, bukan ?
Zulekha             :     Prajurit kita tinggal sedikit ayahanda. Sekarang terserah ayahanda.
G.M.Seman       :     Lawanlah musuh di luar sana sampai tetesan darah terakhir.
Zulekha             :     Ayah. Prajurit kita tinggal beberap orang saja lagi. Sedang pasukan marsose masih ribuan dengan persenjataan lengkap.
T. Silam             :     Tampak nya engkau tidak mengikuti jiwa kepahlawanan kakekmu dan ayahmu. Engkau benar-benar pengecut. Engkau seorang penakut zulekha! Dan aku sebagai sahabat terdekat almarhum kakekmu, tidak menyukai seorang pengecut seperti engkau.
Zulekha             :     Apa maksud tumenggung ?
T. Silam             :     Mengikis habis pahlawan perang banjar yang penakut seperti engkau! (MELEPASKAN PELURU)
Zulekha             :     (TANGANNYA SEBELAH TERKENA TEMBAK)
                                Penghianat!
T. Silam             :     Masih ada 2 buah peluru emas ayahmu, zulekha.
Zulekha             :     Ayah! Peluru emas itu!
T. Silam             :     Yah! Peluru emas! Masih cukup untuk menyudahi umur ayahmu dan umurmu sendiri.
Zulekha             :     Ayah!
T.Silam              :     (MELEPASKAN SATU PELURU KEJANTUNG M. SEMAN)
Zulekha             :     Tumenggung silam. Dendam ku pasti terbalas yah!
T. Silam             :     (TERJATUH KARENA SATU BUNYI LETUSAN SENAPAN)
Zulekha             :     (KEHERANAN)
Layang              :     (MUNCUL DENGAN MULUT SENAPAN BERASAP)
Zulekha             :     Engkau menembaknya, layang?
Layang              :     Ratu. Ambilah senapan di tangannya itu.
Zulekha             :     layang. Kau berjasa besar dalam perang ini. Kau telah berhasil membunuh musuh yang paling jahat dalam perjuangan.
Layang              :     Sekalipun aku sebagi isterinya yang membenci dia, tapi aku membunuhnya tidak berdasarkan dendam dan rasa sakit hati. Dia kubunuh, karena dia penghianat bangsa!
Zulekha             :     (SIAGA) musuh yang paling jahat, adalah musuh yang menohok kawan seiring.
Layang              :     Dialah musuh dalam selimut!
Zulekha             :     ya! Musuh yang dari kawan seijaan dan sabumi haram menyerah, adalah musuh yang tak pernah habis-habisnya. Inilah bahaya masa kini. Bahaya masa depan bagi banu kita. Bahaya yang akan menyerahkan banua ini kepada orang lain.
                                PANGLIMA BATUR MUNCUL
P. Batur             :     Kau terluka ratu? Penambahan (MERANGKUL) korban peluru kesasar?
Zulekha             :     Korban peluru emas.
P. Batur             :     siapa?
Zulekha             :     Orang yang paling ayahanda percaya.
P.Batur              :     Dia?
Laying               :     Dan aku berhasil menumpaskannya.
P. Batur             :     Bagaimana ratu kekuatan kit semakin lemah.
Zulekha             :     Hidup kita tidak punya arti sama sekali. Ayahanda menjadi korban penghianat. Dan suami ku gusti Muhammad Arsyad, terkena tipu pula. Apa arti dari hidup ini? Belanda keparat! Kubunuh kalian! (BERLARI MENUJU MEDAN)
P. Batur             :     Ratu! (MEMANGGIL) Ratu…….jangan turutkan hati panas, ratu!ratu! laying selamatkan jiwamu. Aku akan melindungi ratu.
Layang              :     Tidak. Aku turut bersamamu.
P. Batur             :     Layang. Perang kali ini sangat membahayakan.
Layang              :     Kanda batur, aku ingin meti bersama kanda. Kanda takut menghadapi sardadu belanda itu? Kalau begitu, ikuti dinda. (DENGAN GAGAH MENUJU PINTU KELUAR)
P. Batur             :     Layang (MENGIKUTI)
                                KEADAAN MENJADI GELAP
NARATOR      :     (DALAM LAKON DALANG)
ZULEKHA SRIKANDI
ZULEKHA YANG GAGAH BERANI
ZULEKHA SANG CUCU ANTASARI
MENANTANG BELANDA TAK TAKUT MATI.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar