BUKAN PERINGATAN PEMERINTAH:
Apabila naskah ini dipentaskan, harap menyertakan tanda “17
tahun keatas” pada poster dan semua elemen publikasi lainnya, termasuk tiket
dan buku acara, untuk menyatakan kalau tontonan ini lebih baik ditonton oleh
para penonton yang memang “sudah dewasa”. Ini juga dimaksudkan, bahwa tanpa
undang-undang yang mengatur moralitas, sebagai masyarakat kita pun sesungguhnya
(sudah) bisa mengatur diri sendiri.
SIDANG SUSILA
Naskah: Ayu Utami & Agus Noor
OPENING
Suasana murung dan menekan.
Muncul serombongan Polisi Moral, yang berjalan menderap,
tegas. Seakan mengawasi keadaan dengan sikap waspada dan curiga.Tampak
segerombolan orang yang mengendap-endap menghindari Polisi Moral itu.
Orang-orang itu ketakutan, langsung sembunyi begitu melihat Polisi Moral
melintas. Sementara Polisi Moral itu terus berderap melintas, bagai menyebar ke
seluruh penjuru kota.
Mengawasi keadaan. Memasang bermacam tanda gambar yang penuh larangan.
Ketika para Polisi Moral itu akhirnya melintas pergi,
segerombongan orang yang tadi mengendap-endap itu tampak gembira. Tampak mereka
kemudian bersiap untuk menggelar tayuban.
SATU
Tayuban sedang berlangsung di sebuah tempat di pingiran kota…
Para penari tayub asik
ngibing. Orang-orang yang yanggembira pun ikut menari dan berteriak-teriak
menyenggaki goyang para penari. Mira, seorang penari tayub bergerak sensual,
mengundang gairah para lelaki yang ikut berjoget. Suasana meriah dan bergairah.
Muncul Susila, membawa pikulan berisi dagangannya: mainan
anak-anak. Bermacam mainan anak-anak. Ada
mobil-mobilan, wayang, balon yang dibentuk dilekuk-lekuk aneka bentuk, kitiran,
dll. Begitu melihat sesila muncul, Mira langsung menyambut dengan genit.
MIRA: Waduh Mas Susila… Ayo sini, Mas… ayo toh…
Beberapa penari tayub yang lain pun segera mengrubungi
Susila, seolah Susila sudah akrab dengan mereka, sudah terbiasa datang ke tempat
itu.
PENARI TAYUB 1: Kemana saja sih.. Kok lama nggak kelihatan…
PENARI TAYUB 2: Apa nggak ngerti kalo dikangenin…
PENARI TAYUB 1: Makin montok saja…
PENARI TAYUB 2: Montok apanya?
PENARI TAYUB 1: (Sambil mentowel susu Susila) Ya susunya toh
ya…
MIRA: Ealahhh, sudah, sudah! Apa ndak liat kalo dia
pinginnya sama saya!
Mira langsung menarik Susila untuk ikutan ngibing. Maka
Susila pun segera menari. Tubuhnya yang tambun terlihat erotis tetapi juga lucu
ketika menari. Gerakan tarinya komikal dan mengundang tawa. Sampai kemudian
Susila terlihat kelelahan, lalu istirahat sembari kipas-kipas. Tubuh tambunnya
yang berkeringat membuat ia sumuk, lalu mulai membuka kancing bajunya. Tampak
susu Susila yang kimplah-kimplah. Mira mengelus-elus susu Susila, hingga Susila
merem-meleki ganjen, sambil terus memandangi penari tayub itu. Seperti
mengkhayalkan hal-hal yang erotis.
Muncul seorang lelaki, sikapnya hati-hati, mendekati Mira.
Laki-laki ini segera menarik Mira, menjauhi Susila. Tampak Mira dan laki-laki
itu berbisik-bisik, bercakap-cakap rahasia. Tampak lelaki itu memberikan
segulungan ketas pada Mira. Mira memperhatikan kertas itu.
Susila tampak tertarik, dan mendekati Mira. Tetapi begitu
melihat Susila mendekat, Mira segera cepat-cepat menggulung dan menyembunyikan
kertas itu. Sementara lelaki yang tadi memberikan segulungan kertas pada Mira
langsung menyelinap pergi…
SUSILA: Ada
apa?
MIRA: Ndak apa-apa… Ayo sudah nari saja lagi…
Maka Mira pun langsung mengajak Susila menari. Suasana makin
ramai dan gayeng. Mira langsung cekikikan genit ketika Susila menggelitik
perutnya. Tayuban terus berlangsung. Tarian makin hot.
Mendadak terjadi kepanikan. Muncul beberapa Polisi Moral –
yang langsung mengobrak-abrik tayuban itu. Para
penari dan pengunjung yang lain langsung kabur. Susila yang bertubuh tambun
terlihat kaget, bingung dan hanya melongo memandangi itu semua. Ia ingin ikut
lari juga, tapi tubuhnya yang tambun tak bisa membuatnya bergerak cepat.
Beberapa Polisi Moral langsung mengepung Susila. Senapan-senapan
dengan lampu infra merah mengarah ke tubuh Susila. Susila hanya mengangkat
tangan kebingungan. Titik-titik merah terlihat memenuhi tubuh Susila. Susila
hanya bisa pasrah ketika para Polisi Moral itu meringkusnya dengan jaring yang
dilemparkan. Susila terlihat kebingungan, nggak ngerti dengan apa yang terjadi
itu.
SUSILA: Lho, ada apa ini… Ada apa… Waduh…
Seperti mendapat tangkapan paus besar, para Polisi Moral itu
langsung menyeret dan menggelandan Susila. Beberapa petugas itu langsung
membawa dagangan Susila
SUSLA: Waduh… daganganku… Daganganku…
Para petugas yang meringkus
Susila itu segera menggelendangnya. Memukulinya. Susila hanya bisa
berteriak-teriak mengaduh kesakitan. Mereka exit.
Perlahan lampu meredup. Hanya terdengar teriakan dan lolongan
Susila. Mengingatkan pada inkuisisi yang penuh kekerasan. Sayup-sayup suara
Susila makin lemah dan menghilang.
DUA
Ketika lampu menyala di satu tempat, terlihat Ibu Jaksa
penuh gaya
memberi keterangan pers di hadapan wartawan yang mengerubutinya.
JAKSA: Tepat pukul kosong kosong lebih kosong kosong,
Undang-undang Susila telah ditetapkan secara sah dan meyakinkan. Dengan
berlakunya Undang-undang ini, maka secara resmi dan konstitusional kita telah
menjadi bangsa yang bermoral. Untuk itu secepatnya kita juga akan menyusun
Garis-garis Besar Haluan Moral Negara… Bertepatan dengan itulah, kami
mencanangkan Gerakan Nasional Moral Bangsa untuk mencapai moralitas yang adil
dan beradab. Kami sudah menggelar razia moral. Dan Alhmandulillah, kami telah
berhasil menangkep dari pada seorang penjahat moral, yang secara
terang-terangan melakukan tindakan pornografi dan pornoaksi…
Para wartawan mencecarnya
dengan pertanyaan-pertanyaan…
JAKSA: Tenang… tenang…Semua akan saya jawab… Tapi tolong
dicatat yang baik. Jangan sampai salah kutip… Nanti saya mesti repot membuat
bantahan.
WARTAWAN: Siapa yang ditangkap itu, Bu?
JAKSA: Detailnya nanti saya informasikan setelah penyidikan.
Tapi yang jelas, orang ini adalah penjahat moral pertama yang berhasil kita
amankan.
WARTAWAN: Kapan disidangkan?
JAKSA: Segera. Secepatnya. Ini prioritas kasus yang akan
kami ungkap secara tuntas. Agar masyarakat tahu, kalau kita tidak main-main
dalam menegakken Undang-undang Susila ini.
WARTAWAN: (Memotong dengan cepat) Bukankah Undang-undang ini
bentuk lain dari represi moral?
JAKSA: (Langsung bernada membentak marah) Bagimana pun
Sodara-sodara, pornografi dan pornoaksi harus kita babat! Karna begitulah,
Sodara-sodara… Sebagaimana firman Allah. Moral masyarakat harus dijaga,
Sodara-sodara. Kalau penjahat moral ini tidak segera dihukum, pasti masyarakat
akan resah. Dia akan mengganggu ketertiban. Membuat hidup kita sengsara.
Haleluya!
Perlahan di tempat lain, cahaya menerangi Susila yang sudah
berada dalam sel. Dalam sel itu tampak tempat tidur kecil. Dan di sampingnya
ada closet. Susila sedang duduk terkantuk-kantuk di closet itu. Sedang berak.
Posisi duduknya mengingatkan kita pada pose patung The Thinker Augusto Rodin.
JAKSA: Berdasarkan laporan yang saya terima, orang ini boleh
dibilang penjahat moral paling menjijikkan… Jorok.. Bau busuk…
Di dalam sel, Susila kentut begitu keras. Terdengar seperti
suara orang terserang mencret, dan Susila sampai menutup hidung tak tahan
dengan bau tainya sendiri…
JAKSA: Dia penjahat moral paling berbahaya. Karena itulah,
kami menempatkannya di sel khusus, dengan penjagaan ekstra ketat.
Lampu di bagian Bu Jaksa meredup. Bu Jaksa dan para wartawan
exit. Di panggung tinggal terlihat Susila yang masih duduk terkantuk-kantuk
sedang berak di closet. Bersamaan lenyapnya Bu Jaksa itu, terdengar suara
mencret yang menggelontor panjang. Dan Susila terlihat begitu lega…
TIGA
Susila bangkit dari closet. Ia menuju papan tempat tidur,
duduk di situ dan memandangi selnya. Ia terlihat kebingungan dan tak mengerti
kenapa ia berada di sel itu. Ia berusaha tiduran, tapi kerepotan karena tempat
tidur itu begitu kecil dan sempit untuk tubuhnya yang tambun. Lalu ia bangkit,
mengambil gelas seng yang tergeletak di pojok. Melihat isi gelas itu, lalu
meminumnya, menenggak… Tapi rupanya gelas itu sudah kosong. Di tumpahkan ke
telapak tangannya berkali-kali, tak ada setetes air pun menetes dari gelas itu.
Ia terlihat berfikir sejenak, lalu tersenyum seperti memperoleh ide cemerlang…
Susila pun segera meludah berkali-kali ke dalam gelas itu, lalu menenggaknya…
SUSILA: Lumayan…
Susila terlihat lega, terbebas dari rasa haus di
kerongkongannya. Lalu Susila terlihat bingung lagi. Mengelus perutnya, merasa
lapar. Segera ia memukul-mukulkan gelas seng itu ke jeruji besi, sambil berteriak-teriak
memanggil.
SUSILA: Mas… Mas… Mas Pulisi… Mas… Mas Pulisi…
Susila terus memukul-mukulkan gelas seng itu ke jeruji besi,
terdengar berisik. Sampai tiba-tiba muncul dua orang petugas, seperti pasukan
anti teroris yang siap menyergap, mengacungkan senjata ke arah Susila. Melihat
itu Susila langsung mundur ke belakang, kaget, sampai gelas yang dipeganginya
jatuh…
SUSILA: Ampun … Saya cuma mau minta minum kok… Haus…
(melihat sikap petugas yang serius siap menembak itu, ia jadi ketakutan juga)
Ee… Ka…kalau tidak ya tidak apa-apa… Biar saya minum ludah saya sendiri lagi…
Susila beringsut hendak mengambil gelasnya. Ketika melihat
Susila bergerak, dua petugas itu langsung mundur, seperti ketakutan dan
berjaga-jaga kalau Susila bisa sewaktu-waktu menyerang mereka.
Susila mengambil gelasnya, meludah berkali-kali ke dalam
gelas itu. Kemudian menenggaknya… Sampai ia gelegekan.
SUSILA: Uenak tenan… (Menyorongkan gelas itu ke arah
petugas) Mau nyoba…
Petugas itu beringsut mundur ketakutan. Tapi tetap dengan senjata
siap tembak. Muncul Petugas Kepala, mengamati Susila. Lalu memberi perintah
pada seorang petugas.
PETUGAS KEPALA: Beri dia ransum!
Salah satu petugas dengan cekatan mengambil piring berisi
sekerat makanan dan siap menyorongkan ke dalam sel Susila, tapi Petugas Kepala
itu langsung membentak,
PETUGAS KEPALA: Tolol! Pakai tongkat pengaman!
Petugas itu langsung mengambil tongkat dengan pengait di
ujungnya. Lalu petugas itu menyorongkan piring yang sudah dikaitkan di ujung
tongkat itu ke dalam sel. Susila memandanginya dengan heran, bingung, tak
mengerti. Tapi begitu petugas itu menjauh, Susila langsung saja menyamber
makanan di piring itu, dan menyantapnya dengan cepat…
Para petugas memandanginya
dengan waspada.
PETUGAS KEPALA: Semua siap?
KEDUA PETUGAS: Siap, Pak.
PETUGAS KEPALA: Saya ingatkan sekali lagi, agar kalian
hati-hati. Selama interograsi, jangan sampai kalian bersentuhan langsung dengan
pesakitan. Mana tabung antiseptiknya?
PETUGAS 2: (menunjukkan tabung semprot) Siap, ini Pak…
PETUGAS KEPALA: Itu buat berjaga-jaga. Langsung semprotkan
antiseptik itu ke tubuh kalian, bila kalian terpaksa bersenggolan atau
bersentuhan langsung dengan pesakitan itu. Biar virus pornonya langsung mati,
dan kalian tidak tertular…
KEDUA PETUGAS: Siap, Pak…
PETUGAS KEPALA: Keluarkan dia…
Petugas 2 segera membuka sel. Senjata tetap waspada di
tangannya. Petugas itu menyuruh Susila keluar. Sesila terlihat malas, dan agak
mengantuk, garuk-garuk kebingungan melihat sikap para petugas itu yang
memandang dan memperlakukannya begitu jijik. Setiap Susila berusaha mendekati
petugas itu, langsung petugas itu menjaga jarak, takut bersentuhan dengan
Susila.
Susila disuruh menuju Petugas 1 yang sudah siap di meja.
Susila mengulurkan tangan bermaksuk salaman dengan Petugas 1 itu, tapi Petugas
1 langsung menarik tangannya menjauh, tak mau bersalaman…
PETUGAS KEPALA: Duduk!
Susila segera duduk di hadapan Petugas 1. Dan interograsi
pun berlangsung. Petugas 1 (seakan-akan) mengetik semua jawaban Susila.
Sementara petugas 2 siap di belakang Susila dengan senjata yang siap
ditembakkan.
PETUGAS KEPALA: Cepat duduk!!
SUSILA: (Latah) Eh, iya duduk duduk…
Susila duduk di hadapan petugas 1
PETUGAS 1: Nama?
SUSILA: Susila, Pak…
Petugas 1 mengetik, begitu sepanjang interograsi.
PETUGAS KEPALA: Yang jelas! Siapa?!
SUSILA: (Latah) Ee, ya.. ya Susila, Pak… S. U. S. I. L. A.
Itu yang tertulis di KTP. Su-si-la. Tapi lebih sering dipanggil Susilo.
Maklumlah, pak, orang Jawa… huruf a diucapkan o…
PETUGAS 1: Yang bener Susila pakai a, atau Susilo pakai o?
SUSILA: Ya, Susila juga ndak papa, Pak… Soalnya kalau
Susilo, nanti dikira nyindir…
PETUGAS 1: Lengkapnya?!
SUSILA: Susila Parna, Pak…
PETUGAS 1: Kok seperti orang Sunda? Tadi katanya Jawa?!
SUSILA: Kalau a-nya diucapkan o, kan jadi kedengaran mesum… Su-si-la jadi
Su-si-lo… Par-na mestinya kan
ya jadi Por-no toh, Pak… Eh, sebentar…Porno apa Parno ya? Parno.. Porno..
Porno.. Parno… Welah, kok malah bingung sendiri saya…
PETUGAS 1: Jangan berbelit-belit! Jawab yang jelas. Tidak usah
mungkir. Awas, saya ceples pake penggaris batokmu! Nama lengkap?!
SUSILA: Susilo Porno, eh Susila Parna, Pak… Bener, Pak…
Susila, Pak…
PETUGAS 1: Pekerjaan?!
SUSILA: Pedagang, Pak… Pedagang kaki lima…
PETUGAS 1: Pasti kamu jualan VCD porno!
SUSILA: Tidak, Pak..
PETUGAS KEPALA: Jangan mungkir!
SUSILA: (Latah) Eh mungkar mungkir..…. Mbok jangan bikin
kaget toh, Pak… Saya jadi porno eh parno…
PETUGAS KEPALA: Jadi bener kamu jualan VCD porno…
SUSILA: Kok porno? Parno, Pak… Bener, Pak…saya jadi parno
kalau kaget…
PETUGAS KEPALA: Jadi kamu jualan kalender porno juga.
SUSILA: Kok porno terus sih…
PETUGAS KEPALA: Jawab yang jelas?! Barang-barang porno apa
lagi yang kamu jual?! Kartu remi porno? Tabloid porno? Majalah porno?….
(tiba-tiba berbisik) Ada
majalah Playboy tidak?… Bisa pesen satu? (kepada Petugas 1 yang terus mengetik)
Yang tadi nggak usah diketik!
SUSILA: Saya nggak jualan gituan, Pak… Saya cuma jualan
mainan…
PETUGAS KEPALA: Jadi kamu jualan mainan sex? Apa saja itu?
Kondom bergerigi? Viagra? Dildo? Vibrator? Boneka Barbie rasa strawberry?
Vagina elektrik?… (hendak berbisik…)
SUSILA: (Langsung menebak) Pasti mau pesen, toh?… Saya nggak
jualan gituan, Pak… yang saya jual itu cuma mainan anak-anak…
PETUGAS 1: Kamu itu jualan anak-anak, begitu? Berapa usia
anak-anak yang kamu jual itu?!
SUSILA: Welah, bagaimana sih Bapak ini… Bukan jualan
anak-anak, Pak… Jualan mainan anak-anak… Jadi yang saya jual itu mainan… Bukan
anak-anak… Saya jualan mainan anak-anak, karena saya seneng sama anak-anak…
PETUGAS 1: Ya, ya… jangan kecepetan omonganya… Saya bingung
ngetiknya… Jadi kamu itu menyukai anak-anak… berarti kamu itu fedofil… Iya,
tidak? Jawab yang yang jelas…
SUSILA : (Jengkel, dan mulai tidak bisa mengendalikan
emosi)) Yang nggak jelas itu siapa? Saya sudah menjawab jelas, malah situ yang
pertanyaannya tidak jelas… Kan
sudah saya jelaskan, saya ini penjual mainan. Masak begitu saja tidak
jelas-jelas… (menarik tangan atau tubuh Petugas 1, agar mendekat) Pen-ju-al
ma-in-an… Apa masih kurang jelas?
Petugas 1 langsung gugup ketakutan, berusaha melepaskan
diri, dan langsung berteriak-teriak.
PETUGAS 1: Antiseptik! Cepat! Cepat antiseptik…
Petugas Kepala segera menyemprotkan antiseptik ke tubuh
Petugas 1, sementara petugas dua langsung mengokang senapan. Mengancam Susila.
Suasana menjadi begitu panik.
PETUGAS KEPALA: Cepat giring ke sel! Cepat!
Dibawah ancaman senjata, Susila di dorong masuk sel. Susila
terlihat bingung dengan semua kepanikan itu. Sel segera dikunci. Petugas 1
masih terlihat gemetaran, ketakutan. Petugas kepala terus menyemproti tubuh
Petugas 1 dengan antiseptik – yang bentuknya bisa saja seperti semprotan Baygon
cair, atau Hairspray atau tabung penyemprot hama sebagaimana dipakai para
petani itu.
EMPAT
Muncul Hakim, Jaksa dan Pembela, ketiganya menyaksikan
petugas kepala yang sedang menyemprotkan semprotan antiseptik ke tubuh Petugas
1. Sementara Susila sudah terkunci kembali dalam sel. Pada adegan ini, blocking
Pembela selalu berada di belakang, seakan tak ingin ketahuan. Pembela itu
terlihat menjaga jarak, bahkan sering menjauhi Hakim dan Jaksa – seperti ada
yang disembunyikan. Terutama, Pembela selalu menjaga jarak dengan sel dimana
Susila terkurung.
Petugas Kepala terkejut dengan kemunculan tiga pejabat itu,
yang terkesan mendadak.
HAKIM: Maaf kami datang mendadak… (Menyerahkan koran kepada
petugas kepala, yang segera membacanya) Kita berkejaran dengan waktu. Kasus ini
menjadi head line semua media. Pers terus-terusan mem-blow up penangkapan ini.
Semua mendesak agar persidangan dilaksanakan secepatnya.
PETUGAS KEPALA: Kami sedang memprosesnya… Saya jamin semua
akan lancar dan tepat waktu. Cuma tadi ada insiden kecil. Pesakitan itu
menyerang anak buah saya.
Hakim dan Jaksa kaget dan beringsut menjauhi Petugas 1…
PETUGAS KEPALA:enang… Saya sudah menyemprotkan antiseptik.
JAKSA: Bisa kami melihat pesakitan? Kami hanya ingin
memastikan pesakitan siap menjalani sidang…
PETUGAS KEPALA: Silakan…
Jaksa dan Hakim segera menuju ke sel. Keduanya segera
menyorotkan lampu senter yang dibawanya ke arah Susila yang meringkuk tak
berdaya dan kebingungan dalam sel. Mereka menyenter Susila, seperti tengah
meneliti binatang buruan yang berhasil mereka tangkap. Susila menutupi matanya,
silau oleh sorot lampu senter itu. Hanya pembela yang mengamati dari jarak agak
jauh.
HAKIM: (Sambil terus menyorotkan senter ke Susila) Waduh,
waduh… memang porno banget orang ini… Lihat itu susunya…. (menelan ludah)
momplok-momplok montok banget…
JAKSA: (Batuk-batuk kecil) Eghm… Eghm… Ingat Bapak Hakim…
dilarang terangsang di muka umum… Itu melanggar undang-undang.
HAKIM: Siapa yang terangsang… (Menelan ludah, ekspresinya
penuh birahi)… Saya hanya mengatakan kalau susu pesakitan ini memang gede
banget… Susu paling gede yang pernah saya lihat… Bukankah begitu saudara
Pembela? Coba lihat…
PEMBELA: (Kaget, menghindari melihat Susila secara langsung)
Eh, iya… iya… saya kira itu memang susu paling gede sedunia…
JAKSA: Itu susu paling berbahaya se dunia! Karena itulah
kita menangkapnya. Susu itulah yang menjadi sumber penyakit moral!
HAKIM: Rileks sedikitlah, Bu Jaksa… Kita kan tidak sedang di ruang sidang…
JAKSA: Maaf, standar moral saya jelas. Di dalam atau di luar
sidang kita mesti menjaga moralitas kita. Ingat, Bapak Hakim, saat ini kita
sudah memasuki Orde Moral. Orde Susila. Orde yang mengatur semua moral dan
susila kita.
HAKIM: Tidak perlu menyeramahi saya soal itu, Bu Jaksa…
Apakah Bu Jaksa meragukan standar moralitas saya?!
Jaksa dan Hakim saling tatap, kemudian Jaksa mendengus
membuang muka. Hakim segera menghampiri Pembela yang terlihat menjauh dan
gugup.
HAKIM: Kenapa gugup, Saudara Pembela?
PEMBELA: Bapak hakim tahu… ini kasus pertama yang saya
tangani. Jadi saya masih nervous… Apalagi menurut saya ini perkara yang
terbilang luar biasa…
HAKIM: Apa kamu tidak ingin melihat pesakitan?
PEMBELA: Tentu, Bapak Hakim… Saya ingin berbicara dengan
klien saya. Tapi, biar nanti saja… Ee, mungkin saya perlu minta waktu khusus.
Ee, maksud saya, saya perlu bicara berdua saja dengan klien saya.
HAKIM: (Kepada Petugas Kepala) Bagaimana? Apa kamu bisa
jamin soal kemananannya?
PETUGAS KEPALA: Saya bisa tempatkan seorang petugas untuk
berjaga-jaga…
PEMBELA: Terimakasih… Tapi saya hanya ingin berdua dengan
klien saya. Ini untuk kepentingan pembelaan… Percayalah, saya cukup bisa
menjaga diri.
PETUGAS KEPALA: (Setelah menimbang-nimbang) Baiklah… Tapi
ingat, jangat terlalu dekat dengan pesakitan…
Lalu Hakim, Jaksa, Petugas Kepala dan para petugas, semuanya
exit. Tinggal Pembela dan Susila yang masih merungkuk di selnya.
LIMA
Pelan Pembela mendekati sel Susila, menyorotkan senter ke
arah Susila. Lalu Pembela memanggil Susila dengan pelan dan hati-hati,
PEMBELA: Sstt… Bangun… Bangun… Ayo bangun… Ada yang harus kita omongkan…
Susila menggeliat…
SUSILA: Saya kok sepertinya kenal kamu, ya?
PEMBELA: Saya yang akan membela kamu… Cepat ke sini…
SUSILA: (Mengingat-ingat) Kok kamu seperti…
PEMBELA: Ssttt… Sudah jangan banyak omong…
Susila mendekati jeruji selnya. Dan ketika mereka sudah
berdekatan, lalu lampu senter itu menyorot juga ke wajah Pembela, Susila segera
tahu…
SUSILA: Lho, kamu kan
Utami, to? Kamu anaknya Ngadimin… Masih ingat tidak, saya Pakdemu.. Pakde Sus…
PEMBELA: Iya, Pakde… Saya Utami…
SUSILA: Piye kabarmu, nduk… Ayu bener Utami kowe saiki… Wah
wah Utami, Utami…tambah semok kamu… Wis
lulus sekolahmu? Saya denger sekarang kamu jadi pengarang cabul…
PEMBELA: Ssssttt!!! Sudah, nggak usah banyak tanya-tanya…
SUSILA: Walah-walah kok ya wis gede banget toh susumu… Wong dulu waktu
kamu saya gendong-gendong, masih kecil kayak pentil kok…
PEMBELA: Ssttt!!! Pakde ini ndak berubah! Mesum terus.
Pantesan Pakde ditangkap kayak gini!
SUSILA: Masak begitu…
PEMBELA: (Langsung memotong, tegas) Sudah! Pakde dengarin
saja apa yang saya katakan… Nanti di persidangan, saya yang jadi pembela Pakde…
Tapi nanti Pakde harus pura-pura tidak kenal saya… Jangan sampai orang-orang
tahu, kalau kita masih ada hubungan darah.
SUSILA: Kamu malu ya seduluran sama Pakde…
PEMBELA: Sudah, toh. Pakde manut saja. Nurut apa yang saya
katakan. Ini strategi, Pakde. Biar kita bisa menang sidang. Kalau nanti
ketahuan kita masih famili, saya sendiri yang repot. Nanti saya malah diserang,
dihabisi…
SUSILA: Dihabisi bagaimana?
PEMBELA: Sssttt.. Sudah toh. Saya tidak suka dibantah.
Sudah, jangan ngeyel!
SUSILA: Lho tapi kan
kita memang ada hubungan darah… Kalau tidak, ya sudah lama kamu saya tumpaki…
Terdengar seperti ada langkah-langkah kaki Petugas yang
mendekat, membuat gugup Pembela…
PEMBELA: Kalau ketahuan saya famili Pakde, saya akan dicap
tidak bersih lingkungan! Nanti saya tidak bisa membela Pakde.
Suara langkah itu seperti makin mendekat…
PEMBELA: (Celingukan mendengar suara-suara itu) Pakde ngerti
kan maksud
saya? Ini juga buat kebaikan Pakde sendiri…
Suara langkah kaki itu makin mendekat, membuat Pembela itu
ketakutan dan buru-buru menyelinap pergi…
PEMBELA: (Berhenti sejenak dan kembali berkata pada Susila)
Ingat…, nanti Pakde harus pura-pura tidak kenal saya.
Panggung perlahan menggelap. Musik transisi, seperti derap
langkah kaki itu lama-kelamaan terdengar seperti menderap menggemuruh, seakan
ruangan itu sudah terkepung ribuang langkah kaki yang menyebar dan menderap ke
segenap penjuru…
ENAM
Muncul derap serombongan demonstran, membawa bermacam poster
yang menghujat Susila. “Gantung Susila”, “Hukum Susila Seberat-beratnya”,
“Pornografi Antek Komunis”, “Ganyang Pornografi Pornoaksi”, dan lain-lain.
Rombongan demonstran itu berteriak mengacungkan tangan dan poster-poster yang
dibawanya, dan bernyanyi:
Langit hitam penuh kemesuman
Kita bergerak harus meringkusnya
Kebebasan jadi ancaman
Pikiran kotor harus dibersihkan
Yang berbeda harus disingkirkan
Moral Negara harus ditegakkan
Kita bergerak untuk ketertiban
Pornografi telah mengancam
Pikiran kotor harus dibersihkan
Yang berbeda harus disingkirkan
Penjarakan Susila… Penjarakan Pikiran
Penjarakan Susila… Penjarakan kemesuman
Penjarakan Susila… Penjarakan Susila…
Penjarakan Susila… Penjarakan Susila…
Begitu seterusnya diulang-ulang “penjarakan Susila…
penjarakan Susila…”, hingga rombongan itu menderap keluar, exit, dan suara
nyanyian itu terdengar makin menjauh.
TUJUH
Muncul seorang petugas, memberikan pengumunan menjelang
sidang. Petugas itu membawa kentongan, kemudian memukulnya beberapa kali..
PETUGAS: Mohon perhatian. Sidang Susila dengan nomor kasus
001 antara Negara melawan Susila Parna, segera digelar di Pengadilan Tinggi
Negeri Tata Susila. Harap semua tenang. Segala macam alat elektronik dan
telepon selular harap dimatikan, karena akan menggangu sistem navigasi
persidangan…
Petugas memukul kentongan lalu Hakim muncul diikuti Jaksa
dan Pembela. Begitu Hakim, Jaksa dan Pembela on stage, petugas itu exit.
Hakim membuka siding,
HAKIM: Pesakitan harap segera dibawa ke ruang sidang!
Suasana mencekam. Susila muncul dikawal seorang petugas
dengan senapan siap ditembakkan. Kemunculan Susila mengingatkan pada penjahat
psikopat yang sadis, dimana kaki dan tangan Susila dirantai, sementara kepala
dan wajahnya ditutup dengan ikatan dari kulit warna hitam. Mulut Susila ditutup
dengan semacam keranjang, seperti penutup mulut anjing galak. Sementara sebuah
kayu dipasangkan menyilang ke sebalik dua tangan Susila. Dalam todongan senjata
Petugas, Susila segera didudukkan ke kursi terdakwa.
Melihat Susila diperlakukan seperti itu, Pembela langsung
memprotes keras.
PEMBELA: Maaf, Bapak Hakim! Apa ini tidak terlalu
berlebihan?! Klien saya bukan psikopat. Dia bukan sejenis Sumanto soloensis,
yang suka memakan daging manusia. Klien saya sama sekali tidak membahayakan.
JAKSA: Jangan lupa, dia seorang penjahat susila paling tidak
senonoh di negeri ini. Sodara pasti tahu, penjahat susila sudah pasti jauh
lebih berbahaya dari penjahat jenis biasa. Lebih berbahaya dari pencopet. Lebih
berbahaya dari garong. Bahkan lebih berbahaya dari psikopat yang paling
berbahaya.
PEMBELA: Itu terlalu dilebih-lebihkan, Bapak Hakim. Klien
saya tidak pernah melakukan tindakan apa pun yang membahayakan. Klien saya
tidak pernah melakukan kekerasan fisik… Satu hal lagi, Bapak Hakim, saya
keberatan dengan penggunaan istilah pesakitan bagi terdakwa. Bagaimana pun dia
tetaplah berstatus terdakwa, bukan pesakitan.
JAKSA: Harap diingat Sodara Pembela. Ini bukanlah sidang
pidana atau perdata biasa. Ini adalah sidang tindak susila. Sebagaimana
ditegaskan dalam Undang-undang Susila, para pelanggar susila dengan sendirinya
adalah orang yang sakit. Orang-orang sakit jiwa. Orang yang berpikiran gila.
Orang yang otaknya ngeres. Orang yang pikirannya dipenuhi gagasan pornografi
dan pornoaksi. Itulah sebabnya para pelanggar susila adalah orang-orang yang
hidup dalam gelimang dosa, Sodara-sodara… Mereka sungguh-sungguh orang yang
berbahaya, Sodara-sodara… Ukuran bahaya tidak semata ditentukan dengan tindakan
fisik. Tapi juga pikiran! Dan kejahatan yang disebarkan pikiran, sudah barang
tentu jauh lebih membahayakan, Sodara-sodara…
PEMBELA: Itulah yang saya anggap berlebihan! Bagaimana pun
klien saya sebagai terdakwa belum tentu bersalah, sampai pengadilan
membuktikannya bersalah. Karena itu saat ini sangatlah tidak tepat mengatakan
dia sebagai pesakitan. Dan satu hal lagi, kita ini hendak menyidangkan
perbuatan atau pikiran?!
JAKSA: Sidang tindak susila bukan hanya berkait
tindakan-tindakan yang asusila, tapi juga pikiran-pikiran yang asusila. Ingat,
Bapak Hakim, yang kita sidangkan ini bukan hanya perbuatan pesakitan. Tapi juga
pikiran pesakitan. Pikiran yang dipenuhi gagasan-gagasan mesum dan cabul.
Gagasan-gagasan yang menyebarkan penyakit asusila. Dan kita tahu,
Sodara-sodara, penyakit asu-sila, lebih cepat menular dibanding penyakit
asu-gila!
PEMBELA: Rupanya Saudara jaksa menderita paranoid…
JAKSA: Saya hanya ingin menegaskan: yang kita lawan adalah
kejahatan pikiran… Kita melawan sebuah ide, Bapak Hakim. Ide yang yang
dibungkus kebebasan berekspresi dan keberagaman. Tapi semua itu tak lebih omong
kosong, Bapak Hakim. Bagi saya, ide kebebasan berekspresi bukanlah ide yang
genial, tapi ide yang bersifat genital. Yakni ide-ide yang hanya dipenuhi
gagasan seputar alat vital. Inilah ide yang lebih berbahaya dari pada ide
komunisme…
JAKSA: (Bereaksi keras) Saya tetap keberatan! Itu sama
sekali tidak relevan!
Hakim langsung memotong.
HAKIM: Mohon Saudara Pembela menjaga sikap. Ini ruang
pengadilan, bukan pasar hewan. Ya, meski pun saat ini sulit membedakan antara
pengadilan dan pasar hewan, saya harap Saudara Pembela bisa menjaga
kesopanan…Lagi pula, saya kan
belum membuka sidang…
PEMBELA: (Seolah tak memperdulikan peringatan Hakim) Saya
tetap keberatan dengan semua penyataan Saudara Jaksa yang terlalu berlebihan…
JAKSA: Semua perkataan saya berdasarkan bukti dan fakta!
PEMBELA:Fakta yang mana? Bukti yang mana?
Melihat Jaksa dan pembela makin keras bertengkar, Hakim
kembali mengetok palu sidang, memotong!
HAKIM: Sudara Pembela dan Jaksa!!! Bicaralah yang pelan.
Saya jantungan! Sini… (memberi kode agar Jaksa dan Pembela mendekat.) Harap
kalian bisa bekerja sama menjaga jalannya persidangan. Saling pengertian
begitu… Seperti kalau biasanya kalian lagi tawar-menawar uang suap. Ingat, saya
belum lagi membuka sidang, lha kok kalian sudah sibuk berdebat kayak anggota
dewan kurang kerjaan…
Kemudian Hakim dengan penuh wibawa mengetokkan palu sidang.
Sidang telah dibuka! Jaksa dan Pembela yang sama-sama siap bertempur berada di
posisi masing-masing.
HAKIM: Mohon petugas melepas kepala Pesakitan… Maksud saya,
melepas tutup kepala Pesakitan…
Seorang petugas segera mendekati Susila. Petugas itu berdiri
sebentar di depan Susila, kemudian segera memakai sarung tangan karet
sebagaimana yang dipakai dokter ketika hendak melakukan operasi, kemudian
begitu hati-hati membuka ikatan kepala dan mulut Susila. Begitu tutup mulut itu
terbuka, Susila terlihat sangat lega. Petugas segera menyingkir, kembali
berjaga.
Susila memandangi Pembela, seperti ingin menyapa. Tapi
Pembela segera melengos, pura-pura tidak mengenal Susila. Pembela terlihat
gelisah, apalagi ketika Susila seperti hendak memangil nama Pembela…Untunglah
Hakim segera memulai sidang…
HAKIM: Saudara Pesakitan… Harap perhatikan kemari! Apakah
benar, nama Saudara adalah Susila Parna?
SUSILA: Dalem, Pak Hakim…
HAKIM: Apakah Saudara Pesakitan dalam keadaan sehat?
SUSILA: Dalem, Pak Hakim… Syukur alhamdulillah, saya sehat
jasmani dan rohani. Ya, cuman agak sedikit mengalami gangguan ejakulasi dini…
Burung saya, Pak Hakim… (Bersin) Hachi…
Hakim dan semua yang hadir di ruang sidang itu langsung
menutup hidung mereka.
SUSILA: Burung saya… (Kembali bersin) Hachi… sedikit flu…
HAKIM: (Membentak, mengetuk palu keras) Saudara Pesakitan
jangan berbelit-belit…
SUSILA: (Kaget, dan latah) Eh silit.. eh sembelit… Iya, Pak
Hakim… Silit saya sakit…. maksud saya berbelit-belit… Eh, silit kok
berbelit-belit…
HAKIM: (Membentak lebih keras) Mohon Saudara Pesakitan
menjaga ucapan! Dilarang ngomong jorok di persidangan!
SUSILA: (Makin kaget, makin latah) Eh jorok jorok keprok…
Dalem, Pak Hakim… (bersin) Burung kok jorok… (bersin) Burung saya, eh, saya
cuma pingin ngen…
HAKIM: (Memotong) Cuk… (dan langsung bersin, seakan
ketularan Susila) Haicih……
SUSILA: Bukan ngencuk, Bapak Hakim tapi ngen…
HAKIM: (Kembali memotong) Cuk… Haicih… Cuk…kup, masud saya.
Cukup!
SUSILA: (Latah) Eh iya cukup, cukup…Cukup ngencuknya, Bapak
Hakim… Tapi saya tidak mau ngen…ngen…cuk, kok Bapak Hakim…Saya cuma mau
ngen…ngen…tut…
Lalu terdengar kentut yang panjang. Semua menutup hidung.
Susila terlihat sangat lega.Hakim sibuk membersihkan hidungnya yang mendadak
bersin-bersin… Dan selama Jaksa dan Pembela berbicara beikut ini, Hakim terus
sibuk membersihkan hidungnya dengan sapu tangan atau tissue.
JAKSA: Lihat sendiri, Bapak Hakim… Kita benar-benar
menghadapi Pesakitan yang tidak saja berbahaya, tapi juga tidak punya etika.
Dia telah dengan sengaja mengganggu jalannya sidang…
PEMBELA: Klien saya hanya sedikit sakit perut, Bapak Hakim!
SUSILA: Saya tidak sakit perut kok… Cuma… (bersin) hacih…
flu…
PEMBELA: Sama saja! Tidak penting sakit perut atau sakit
flu, intinya adalah sakit. Klien saya sedang sakit! Maka sidang ini tidak bisa
dilanjutkan!
SUSILA: Ee, tidak apa-apa kok, Nduk…
PEMBELA: (Langsung membentak cepat) Diam! (Lalu kepada
Hakim) Klien saya mengatakan ia terkena flu… Dalam hal ini burungnya yang
terkena flu…
Hakim menyodorkan tissue yang baru di pakainya kepada Jaksa,
Jaksa menerima kemudian membuang tissue itu, sementara Pembela terus berbicara…
PEMBELA: Artinya, ia dan burungnya terkena serangan dari dua
arah sekaligus. Seorang lelaki dan burungnya yang terkena flu, hampir sama
artinya dengan seorang ibu dan bayi yang disusuinya terkena flu.
Hakim kembali menyodorkan tissue yang dipakainya kepada
Jaksa, tapi kali ini Jaksa tidak membuangnya, namun tissue itu malah dipakainya
buat membersihkan hidunynya sendiri, kemudian tissue itu dikembalikan laki
kepada Hakim yang segera memakainya lagi buat membersihkan hidungnya yang
gatal, sementara Pembela terus berbicara,
PEMBELA: Artinya, ia dan burungnya tidak dalam keadaan sehat
untuk mengikuti persidangan! Maksud saya mungkin burungnya yang telah
membuatnya terkena flu. Kita tahu flu cepat menular, dan sudah pasti klien saya
sedang terkena flu karena itu tidak mungkin meneruskan persidangan ini.
JAKSA: (Bertepuk tangan, bergaya memuji) Sungguh argumentasi
hukum yang benar-benar luar biasa…bodoh!
Kemudian mulai di sini, dialog ini dibawakan dengan gaya dinyanyikan, mungkin
bergaya parikan seperti dalam ludrukan, mungkin dengan campuran irama blues
atau ndangdutan…
JAKSA: Saya harap, Sodara Pembela tidak mengaburkan
persoalan. Terlalu sering alasan sakit digunakan untuk menghindari persidangan.
Bagaimana pun sidang harus dilanjutkan, demi keadilan…
PEMBELA: (Dinyanyikan) Tidak bisa! Justru demi keadilan
sidang harus dihentikan…
JAKSA: (Dinyanyikan) Keadilan tak bisa dihentikan. Keadilan
harus tetap ditegakkan. Karena itu tuntutan harus tetap dibacakan…
Musik terus mengalun. Hakim mengetuk palu, sambil sibuk dengan
hidungnya yang gatal.
HAKIM: Baiklah. Sidang tetap diteruskan. Lanjut, Mang…!
Musik terus mengalun.
JAKSA: (Dinyanyikan) Terimakasih, Bapak Hakim… (Sambil
bergaya membacakan dakwaaan, terus dinyanyikan) Sodara Pesakitan telah terbukti
melanggar Undang-undang Susila. Ia melakukan perbuatan pornoaksi.
Mempertontonkan susunya di muka umum…
SUSILA: (Menyanyi, menimpali, sambil memegangi meremas-remas
susunya) Oo, susuku yang malang…
JAKSA: (Dinyanyikan) Sebagaimana dalam Pasal 4 Undang-undang
Susila. Dilarang mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual…atau yang
dianggap sensual. Seperti alat kelamin, payudara, pusar, paha, pinggul, pantat…
SUSILA: (Menimpali, dengan nyanyian) Pundak lutut kaki lutut
kaki, daun telinga mata hidung dan pipi…
JAKSA: (Dinyanyian) Karna itu pesakitan mesti dihukum
seberat-beratnya. Karena dia telah mengganggu keamanan dan stabilitas moral
bangsa…
PEMBELA: (Memotong, berteriak tinggi, bicara biasa)
Keberatan, Bapak Hakim!
Musik dan nyanyian berhenti. Kembali dialog biasa. Sementara
Pembela dan Jaksa berdebat, Susila terlihat mulai kepanasan, sumuk, dan mulai
membuka kancing bajunya dan kipas-kipas dengan tangannya.
PEMBELA: Dalam penjelasan Pasal 4 tersebut dinyatakan bahwa
bagian tubuh tertentu yang sensual adalah antara lain payudara perempuan.
Terdakwa adalah seorang laki-laki. Bukan perempuan. Karena itu tuntutan Jaksa
absurd dan tak berdasar.
JAKSA: Hukum tidak berjenis kelamin, Sodara Pembela! Prinsip
hukum itu seperti slogan Keluarga Berencana: laki-laki atau perempuan sama
saja! Karena itulah semua orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum…
kecuali, tentu saja, Ketua Mahkamah Agung…
HAKIM: Harap Saudara Jaksa tidak keluar dari fakta-fakta
persidangan…
PEMBELA: Persoalannya, Bapak Hakim… Saudara Jaksa memang
tidak punya fakta-fakta yang mendukung semua dakwaannya.
JAKSA: Faktanya Pesakitan memang bersikap cabul dan amoral,
karena mempertontonkan bagian tubuhnya yang sensual… Lihat saja sendiri
kelakuannya… Saya yakin dia seorang eksibisionis…
Hakim terlihat bergairah memandangi Susila yang kepanasan
dan mulai membuka kancing-kancing bajunya… Hakim, menelan ludah memandangi
payudara Susila.
SUSILA: (Yang makin kelihatan kesumukan) Lha wong sumuk, je…
JAKSA: Jangan menjawab kalau tidak ditanya! (Kemudian kepada
Hakim) Bahkan Pesakitan ini telah melanggar Undang-undang Susila secara
berlapis-lapis, karena memperjualbelikan barang-barang yang mengandung unsur
pornografi….
PEMBELA: Sekali lagi saudara Jaksa menuduh tanpa bukti dan
fakta!
JAKSA: (Berteriak kepada petugas) Ambil barang bukti itu!
Seorang Petugas segera membawa masuk barang dagangan Susila.
Melihat itu Susila langsung bangkit, dan dengan riang menghambur ke arah
dagangannya, seperti menyambut kekasih yang dirindukannya.
SUSILA: Daganganku… Oh, mainanku… Sayangku…
Semua langsung beringsut mundur menghindari Susila.
Sementara Susila terus memeluk dan menciumi mainan-dagangan itu… Hakim segera
mengatasi keadaan, memukulkan palu sidangnya.
HAKIM: Saudara Pesakitan harap kembali duduk!
SUSILA: Mainanku… Oh mainanku….
HAKIM: (Lebih keras) Duduk!!
SUSILA: (Kaget, latah) Eh kontol duduk… Welah kok kontol
bisa duduk…
HAKIM: Du…duk!!!
SUSILA: Dalem, Pak Hakim…
Susila pun kembali duduk…
JAKSA: Sodara Pesakitan, benarkah barang-barang ini milik saudara?!
SUSILA: Dalem, Bu Jaksa… Iya… itu dagangan saya…
JAKSA: Jadi jelas, Pesakitan ini telah mengakui berdagang
barang-barang porno ini!
SUSILA: Lho, itu mainan kok, Bu Jaksa… Mainan anak-anak…
JAKSA: Mainan anak-anak hanyalah kamuflase untuk menutupi
unsur-unsur pornografi dalam barang-barang ini.
SUSILA: Apanya yang porno? Masak mainan gitu dibilang
porno…. (Berdiri dan mendekati dagangannya) Coba, mana yang porno? Mana? Apa
mata Bu Jaksa picek, gini dibilang porno? (Mengambil dua balon) Apa yang kayak
ini porno, Bu Jaksa?
JAKSA: Itu barang cabul, Sodara Pesakitan! Coba Sodara taruh
di dada Saudara…
Dengan bingung dan tak ngerti, Susila menempelkan dua balon
itu ke dadanya – hingga mirip payudara…
JAKSA: Lihat saja sendiri fungsi pornografis barang itu,
yang membuat orang akan berfikiran mesum karena mengingatkan pada payudara…
PEMBELA: Payudara tidaklah cabul. Sesuatu yang sensual dan
indah tidak berarti cabul. Anak-anak yang masih polos bisa melihat keindahan
payudara tanpa membuatnya jadi dosa. Kitalah, orang dewasa, yang membuat
payudara menjadi cabul, baik dengan mengeksploitasinya habis-habisan, maupun
dengan menutupinya habis-habisan…
SUSILA: (Menambahi) Plus selalu menghisapnya
habis-habisan…Wong saya juga doyan kok…
JAKSA: Itu melanggar Undang-undang Susila!
SUSILA: Masa jualan balon melanggar susila? (Sambil masih
menempelkan kedua balon itu di dadanya) Kalau balon kayak gini dianggap mirip
payudara, lha ya payudaranya siapa? Payudaranya Dolly Parton saja nggak segede
ini kok… Kalau gede kayak gini bukan payudara Bu Jaksa, tapi tumor… Aneh-aneh
saja lho Bu Jaksa ini… Lalu gimana kalau balon ini saya letakkan di tempat
lain? Apa ya masih porno? Misalnya begini…
Susila meletakkan dua balon itu di selangkangannya.
SUSILA: Gimana kalau begini… Apa begini ini kayak biji
salaknya raksasa… Eh, maksud saya biji salak raksasa?! Lha kalau bijinya segede
ini, lalu segede apa batangnya?… Batang pohonnya maksud saya… Apa ya begini
porno? Kan
tergantung pikiran orang yang melihat…
Susila mengambil mainan lainnya, balon yang panjang.
SUSILA: Apa ini juga porno?
Susila memperlihatkan pada yang hadir, tetapi selalu
setiapkali Susila mendekat, mereka beringsut menjauhi Susila…
SUSILA: Mainan ini membuat anak-anak bisa berfantasi…
Berkhayal… Tapi kan
tergantung fantasinya. Tidak mesti yang saru-saru…. (Meletakkan balon panjang
itu di atas kepalanya) dengan begini anak-anak berkhayal seperti rusa
bertanduk… (Meletakkan balon itu di keningnya) Berkhayal jadi unicorn atau
punya cula seperti badak… (Meletakkan balon itu di hidungnya) punya hidung
mirip Pinokio… (Meletakkan balon itu di perutnya) Punya wudel bodong…
(Meletakkan balon itu di selangkangannya) dan begini… punya ekor memanjang di
bagian depan…
Susila bisa mengembangkan mengambil mainan-mainan yang lain,
kemudian mengolahnya. Setiap kali Susila mendekat, selalu yang didekati
beringsut mundur…
SUSILA: (Sampai akhirnya bertanya pada Pembela) Mainan kayak
gini kan ya
nggak porno toh, nduk? Bener kan
nduk omongan saya?
PEMBELA: Maaf, Anda tak udah usah sok akrab pada saya!
SUSILA: Lho piye toh kowe, nduk…
PEMBELA: Saya membela Saudara hanya sebatas hubungan
profesi! Dan itu bukan berarti saya setuju dengan moral saudara… (Langsung
menghidar dengan berkata pada Hakim) Bapak Hakim, kita tak bisa mengatakan
sesuatu porno hanya berdasarkan asumsi, seperti dikatakan Saudara Jaksa tadi.
JAKSA: Bagaimana mungkin Sodara Pembela mengatakan semua
bukti ini hanya asumsi? Beruntung sekali kita berhasil menyita bukti-bukti ini!
Bagaimana kalau barang-barang itu beredar luas? Anak-anak kita akan dijejali
mainan-mainan porno! Mainan ini adalah cara untuk meracuni pikiran anak-anak
kita, Sodara-sodara! Bagaimana nasib masa depan anak-anak kita,
Sodara-sodara…bila sejak dini mereka telah dijejali dengan segala macam bentuk
mainan pornografi, Sodara-sodara… Puji Tuhan! Ini tidak bisa kita biarkan,
Sodara-sodara!
Bersamaan nada bicara Jaksa yang mulai meninggi, terdengar
derap musik yang menggambarkan serombongan demonstran yang mendekat dan mulai
menderap…
JAKSA: (memandang ke arah luar ruang sidang) Lihatlah
sodara-sodara kita yang berbaris berbondong-bondong menghadiri sidang ini!
Musik makin meninggi, sementara sayup nyanyian mulai
terdengar…
JAKSA: Anda lihat sendiri, Sodara Pembela… Semua rakyat
berbaris dibelakang kita, agar kita bertindak tegas menghukum pesakitan ini…
Mereka ingin penjahat moral ini dihukum seberat-beratnya… Hukum adalah suara
rakyat… Suara rakyat adalah suara Tuhan…
Lalu terdengar teriakan dan yel-yel para demonstran yang
makin mendekat…
JAKSA: Dengarlah suara mereka… Suara Tuhan yang akan
mengazab para pendosa yang tak bermoral!
Kemudian teriakan-teriakan itu makin menjadi jelas, dan
muncul serombongan demontran yang membawa poster yang ternyata berisi tunttutan
agar Susila dibebaskan. Jaksa langsung bingung melihat situasi yang tak
diduganya. Ia meyangka yang datang adalah demonstran yang mendukung
Undang-Undang Susila. Ternyata mereka adalah gerombolan yang penentang
Undang-undang Susila yang menuntut pembebasan Susila Parna. Para
demosntran itu bernyanyi:
Jangan diam jangan mau dibungkam
Kita bergerak untuk perjuangan
Keragaman jangan dimatikan
Proyek moral haruslah dilawan
Yang menindas suara kebenaran…
Bebaskan Susila… Bebaskan Pikiran
Bebaskah Susila… Bebaskan kehidupan
Bebaskan Susila… Bebaskan Susila…
Bebaskan Susila… Bebaskan Susila…
Begitu seterusnya diulang-ulang “bebaskan Susila… bebaskan
Susila…”. Kepanikan juga melanda Hakim. Pembela tampak bingung. Jaksa gemetar
menahan amarah. Semua menatap barisan demosntran yang menderap keluar, exit.
Saat itulah muncul Petugas Kepala, panik dan gugup,
PETUGAS KEPALA: Maaf, Bapak Hakim… Ini benar-benar diluar
perhitungan kita… Mereka menuntut pembebasan Pesakitan kita…
Teriakan dan nyanyian demonstran it uterus terdengar. Petugas
Kepala dengan cepat segera mengamankan Hakim dan Jaksa. Beberapa Petugas
langsung menggiring Susila di bawah ancaman senapan. Musik makin meninggi.
Panggung menggelap. Terdengar teriakan-teriakan itu: “Bebaskan Susila!… Hidup
Susila!….”
DELAPAN
Setelah musik mereda dan teriakan-teriakan mengendap, pada
satu sisi panggung cahaya mulai menerang: terlihat Susila yang terkurung di
balik selnya, sementara dua petugas tampak asik bermain catur.
SUSILA: (Pelan memangil petugas-petugas itu) Mas… Mas…
Dua petugas itu abai, terus asyik main catur…
PETUGAS 2: (Memainkan bidak) Ster!
SUSILA: Mas… (memukul-mukul jeruji)… Mas…
PETUGAS 1: Bisa diam tidak!
SUSILA: Saya mau minta tolong…
PETUGAS 2: Sudah, nggak usah didengerin… Ayo jalan…
Petugas 1 terlihat sibuk berfikir keras memandangi papar
caturnya.
SUSILA: Mas… Mbok saya minta tulung…
PETUGAS 2: Minta tolong apa?
SUSILA: Belikan mainan… Saya kangen sama mainan saya…
PETUGAS 2: (Kepada petugas satunya) Aneh banget kan permintaannya… Ini
permintaan paling aneh selama saya jadi penjaga penjara. Biasanya tahanan itu
minta dicarikan narkoba… Kamu kok malah minta mainan!
SUSILA: Ayo toh mas, beliin saya mainan…
PETUGAS 1: Sudah, sudah.! Aku jadi nggak bisa konsen!
SUSILA: Please deh, Mas… Cariin saya mainan.
PETUGAS 2: (Kepada petugas satunya, yang terlihat berfikir
memandangi papan catur) Ayo cepet jalan… Apa nyerah? Kamu itu tidak mungkin
menang…
Petugas 2 bergaya dan bersikap meremehkan, mengambil uang
taruhan yang tergeletak di samping papan catur, kemudian Petugas 2
mengipas-gipaskan uang itu ke muka Petugas 1 yang masih terus serius mengamati
papan catur, bingung memikirkan langkahnya. Susila dari dalam selnya ikut
memerhatikan papan catur itu.
SUSILA: Begitu saja kok pusing…
PETUGAS: Sudah jangan cerewet!
SUSILA: Kudamu maju saja depan benteng.
Petugas 1 menatap Susila marah, tapi kemudian melihat lagi
papan caturnya, dan melihat bahwa omongan Susila itu benar. Dia senang dan
segera melangkahkan kudanya seperti yang dibilangin Susila.
Petugas 2 kaget, tapi segera memakan kuda itu.
SUSILA: Nah sekarang bentengmu langsung maju… Dua langkah
pasti langsung mat!
Petugas 1 kelihatan di atas angin. Petugas 2 kelihatan
jengkel. Setelah dua kali langkah, Petugas 2 benar-benar terkejut.
PETUGAS 1: Skak!
PETUGAS 2: (Menatap Susila marah) Oo… bajigur!
PETUGAS 1: (Bernyanyi-nyanyi gembira karena menang) Sekak
mati… Sekak mati…
Petugas 1 langsung meraih lembaran uang taruhan yang tadi
dipegangi Petugas 2. Petugas 2 begitu marah pada Susila dan hendak memukul.
Susila beringsut mundur menjauhi jeruji…
PETUGAS 1: Ayo, main lagi tidak?
Petugas 2 dengang jengkel segera pergi, exit. Petugas 1
memandang kepergian Petugas 2, meyakinkan kalau rekannya itu memang benar-benar
sudah pergi, lalu dengan hati-hati mendekati Susila…
PETUGAS 1: Kamu pinter main catur ya…
SUSILA: Keciiil…..
Petugas 1 melongok-longok keadaan.
PETUGAS 1: Ajarin saya, ya…
Lalu Petugas 1 mendekatkan kursi panjang ke dekat sel.
SUSILA: Nanti kamu ketularan…
PETUGAS 1: Jangan gitu ah… Saya tahu sampeyan tidak
berbahaya kok… Gimana, mau ya ngajari saya?
Lalu keduanya mulai menata bidak-bidak catur itu, dengan
Susila tetap berada dalam sel. Hanya tangan Susila yang keluar dari sela jeruji
ketika memainkan bidak-bidak catur… Selama percakapan berikut, keduanya terus
bermain catur.
PETUGAS 1: Sebenarnya saya juga pernah beli mainan sama
sampeyan lho… Waktu itu anak saya nangis terus… minta dibeliin mainan… Padahal
uang saya kurang… Untung sampeyan mau ngutangi dulu…Ingat tidak?
SUSILA: Saya itu terlalu banyak diutangi orang, Mas… Sampe
saya susah ngingat siapa saja yang utang sama saya… Apalagi tampang kayak
sampeyan ini memang khas dan spesifik seperti tampang dunia ketiga yang suka
ngutang…
PETUGAS 1: Ya sudah, ini saya bayar.
Petugas 1 mengeluarkan uang yang tadi didapatnya karena
menang main catur, dan menyodorkannya pada Susila.
SUSILA: Ndak usah…. Ndak usah…
Petugas 1 kembali hendak mengantongkan uang itu.
SUSILA: Eeh…, nanti kamu beliin saya mainan saja ya…
Kemudian keduanya kembali main catur.
Di sisi panggung yang lain, muncul Hakim dan Petugas Kepala,
keduanya berjalan beriringan. Adegan antara Hakim dan Petugas Kepala ini,
paralel dengan adegan Susila dan Petugas 1 yang sedang main catur.
HAKIM: Kita tak bisa membiarkan kekacauan ini berkembang!
PETUGAS KEPALA: Saya akan segera membereskan semuanya, Bapak
Hakim. Jangan khawatir…
HAKIM: (Mengeluarkan poster bergambar wajah Susila yang
memakai baret mirip Che Gouvara) Lihat poster ini! Dia rupanya telah jadi idola
kaum pembangkang. Saya melihat poster ini ditempel memenuhi dinding kota!
PETUGAS KEPALA: Intelejen kita sudah mengetahui siapa
dibelakang ini semua. Ada
dua kekuatan ekstrem yang harus kita curigari, Bapak Hakim. Pertama kelompok
yang menyebut dirinya GAM… Gerakan Anti Moral…Dan yang kedua adalah gerakan
sparatis OPM… Organisasi Penggemar Maksiat… Mereka telah menjadikan Susila
sebagai ikon perlawananan mereka. Merekalah yang menggalang perlawanan
menentang diberlakukannya Undang-undang Susila.
Susila bicara kepada Petugas 1 sambil terus main catur.
PETUGAS 1: Kenapa sih sampeyan tidak menyerah saja.
SUSILA: Mau menang begini kok menyerah…
PETUGAS 1: Bukan menyerah main catur… Tapi menyerah mengakui
kesalahan sampeyan…
Hakim kepada Petugas Kepala, sambil berjalan beriringan…
HAKIM: Kamu harus membuatnya menyerah. Lakukan segala cara,
yang penting dia mau mengaku salah!
Sambil terus main catur, Susila kepada petugas itu,
SUSILA: Kalau saya salah, nggak usah dipaksa juga saya akan
ngaku salah. Lha, tapi ini saya nggak merasa salah apa-apa kok…
Hakim dan Petugas kepala, sambil berjalan beriringan,
PETUGAS KEPALA: Saya telah mengatur seorang petugas untuk
membujuknya.
Susila dan Petugas 1, sambil terus bermain catur,
PETUGAS 1: Kalau sampeyan mengaku salah, kan sampeyan bisa diampuni.
SUSILA: Diampuni gimana? Lha sidangnya saja belum rampung,
kok diampuni… Orang itu harus disidang dulu, dibuktikan kesalahannya. Baru
diampuni…
Hakim dan Petugas Kepala, sambil berjalan beriringan,
PETUGAS KEPALA: Apakah kita benar-benar akan mengampuni
pesakitan ini?
HAKIM: Tentu saja tidak. Kita hanya bujuk dia dengan
menjajikan ampunan, biar mau mengaku salah. Kalau dia sudah mengaku salah,
berarti dia secara sah telah bersalah. Itu kesempatan kita menggoroknya…
Susila dan Petugas 1, sambil terus bermain catur,
PETUGAS 1: Posisi kamu ini sekarang lagi susah. Kamu
bersalah atau tidak bersalah, bukan ditentukan apakah kamu memang benar-benar
bersalah atau benar-benar tidak bersalah… (Memainkan caturnya) Skak! Kamu salah
atau tidak salah, tetap akan diputuskan salah…
Hakim dan Petugas Kepala, sambil berjalan beriringan…
PETUGAS KEPALA: Yang penting saya memperoleh dukungan penuh
kalau mesti mengambil tindakan-tindakan darurat.
HAKIM: Proyek moralitas dibenarkan sepanjang itu
menguntungkan… Apapun yang kamu lakukan untuk kepentingan proyek Syariat Moral
ini, kamu pasti memperoleh dukungan.
Susila dan Petugas 1, sambil terus bermain catur,
PETUGAS 1: Atau jangan-jangan kamu merasa untung di penjara
begini? Kamu senang karena sekarang banyak yang memuja kamu… Kamu diam-diam
menikmati kan?
SUSILA: Gundulmu! Ditahan begini kok menikmati…
PETUGAS 1: Justru karena ditahan begini, kamu jadi dianggap
pahlawan oleh banyak orang. Kamu dijadikan poster. Namamu diteriakkan para
demosntran… Lalu kamu merasa ngetop? Kamu rupanya telah mengindap sindrom orang
yang merasa dirinya pahlawan. Kamu memperoleh kepuasan ketika orang di
sekelilingmu begitu memujamu…
SUSILA: Prek!
PETUGAS 1: Apa kamu nggak sadar, orang-orang itu sebenarnya
tidak memujamu, tapi memanfaatkanmu… Kamu hanya dijadikan tumbal perlawanan…
Hakim kepada Petugas Kepala,
HAKIM: (Menyerahkan selembar cek) Ini cek untuk kebutuhan
dana taktis…Ini bukan berarti saya memanfaatkan aparat macam kamu lho, ya…
PETUGAS KEPALA: Tak usah sungkan-sungkan… Saya tak merasa
diperalat kok… Karena aparat seperti saya ini memang sudah terbiasa ikhlas
diperalat…Kalau lama tak diperalat, ayan saya malah kumat… Saya kira ini juga
akan menstimulus militansi anak buah saya…Bapak Hakim tahu, belakangan ini anak
buah saya lebih suka menangkapi para pelanggar susila, ketimbang menangkapi
pelanggar lalu lintas…Karena inkam-nya jauh lebih menguntungkan.
Sementara Susila yang terlihat marah ngambek, kepada Petugas
1,
SUSILA: Kamu kira saya merasa untung dengan ditahan begini?!
PETUGAS 1: Maaf… Saya ngomong seperti tadi karena saya tidak
ingin kamu celaka…Saya tahu sampeyan tidak melanggar… Sampeyan hanya korban.
Sengaja dikorbankan… Nama sampeyan dijelek-jelekkan…. Dianggap bahaya laten…
Kalau ada yang tahu saya ngobrol sama sampeyan begini, pasti saya langsung
dipecat. Keluarga saya pasti dihabisi…. Dianggap tidak bersih susila.
SUSILA: Lalu kenapa kamu menuduh saya justru menikmati semua
itu?!
PETUGAS 1: Saya khawatir saja kok… Khawatir karena saya
denger malam ini sampenyan mau dieksekusi…
Susila jadi terlihat gelisah, raut wajahnya seperti dipenuhi
bayangan kematian…
Hakim kepada Petugas Kepala,
HAKIM: Saya hanya khawatir kalau petugas itu justru tergoda…
PETUGAS KEPALA: Saya berani menjamin loyalitas para anak
buah saya, Bapak Hakim…
Petugas 1 berbicara kepada Susila,
PETUGAS 1: Makanya, cepat pergi… Pergi… Kamu lihat, pintu
sel sengaja tak saya kunci… Kamu bisa pergi sebelum tengah malam nanti…
Sementara itu Hakim dan Petugas Kepala berhenti, dan
langsung memandang ke arah Petugas 1 yang sedang membujuk Susila… Petugas 1 tak
menyadari kemunculan Hakim dan Petugas kepala…
PETUGAS 1: Pergilah… pergilah… Saya nggak ingin melihat kamu
dihukum mati.
Hakim dan Petugas Kepala yang sudah berdiri di belakang
Petugas 1 itu langsung menghardik,
HAKIM: (Menghardik) Kamu yang pantas dihukum mati!!
Petugas 1 begitu kaget, ia berbalik dan melihat Petugas
Kepala dan Hakim yang sudah berdiri menatapnya. Langsung Petugas 1 mengemasi
bidak-bidak catur, memdekap papan catur itu dengan gemetar…
HAKIM: (Kepada Petugas Kepala) Sekarang saya tahu loyalitas
anak buah kamu! Saya kira kamu cukup cerdas untuk membuktikan loyalitasmu!
Hakim menatap tajam Petugas Kepala, kemudian langsung
bergegas pergi, exit. Tinggal Petugas Kepala menatap penuh amarah pada Petugas
1, membuat petugas satu menggil ketakutan, lalu berlahan-lahan duduk bersimpuh
sembari mendekap papan catur,
PETUGAS 1: Ampun…..
Lalu perlahan Petugas 1 itu merangkak, mendekati Petugas
Kepala yang terus berdiri mematung penuh kemarahan.
PETUGAS 1: (Sambil terus merangkak) Ampun….. Maafkan saya,
Pak….. Ampun… Ampun…
Susila memandangi semua itu dari dalam selnya. Ia juga
terlihat ketakutan, bingung. Sampai kemudian Petugas 1 itu bersimpuh di bawah
kaki Petugas Kepala, memegangi kakinya, terus memohon ampun. Suara tangis dan
ampunan Petugas itu kemudian seperti tercekat dikerongkongannya, ketika dengan
tenang Petugas Kepala mengeluarkan pistolnya. Petugas kepala itu mengarahkan
pistolnya tepat di kepala Petugas 1. Susila ngeri menyaksikan itu, dan menutup
wajahnya. Lalu terdengar letusan senjata. Gelap seketika.
Musik transisi…
SEMBILAN
Pembela berjalan tergegas terburu-buru, melintas panggung.
Tapi mendadak muncul Jaksa, seperti menghadang. Melihat itu Pembela langsung
berbalik, berusaha menghindar, dan segera kembali bergegas. Tapi mendadak
muncul Hakim, menghadang jalan di depannya,
HAKIM: Kenapa terburu-buru…
PEMBELA: Maaf, saya mesti bertemu wartawan… (bergaya sibuk
dengan berkas-berkas yang dibawanya)… Saya mesti meluruskan beberapa
pemberitaan yang cukup mengganggu…
Lalu Pembela segera berbalik, mencoba menghidari hadangan
Hakim,
JAKSA: (Dengan santun menghadang Pembela) Sudah lama kita
tak makan siang bersama…
PEMBELA: (Dengan santun dan halus) Mungkin lain waktu.
JAKSA: Bukankah dulu kamu selalu mengatakan ngobrol makan
siang selalu lebih menyenangkan dari pada di ruang siding.
PEMBELA: Tapi ini bukan saat yang menyenangkan untuk itu…
Pembela menghindari Jaksa, berbalik bergerak menjauh, tetapi
kembali di hadang Hakim,
HAKIM: (Bernada membentak mengancam) Menyenangkan atau
tidak. Kamu punya waktu atau tidak… Yang jelas kita mesti bicara! Saya tak
terbiasa basa-basi!
PEMBELA: Ciri hakim yang baik memang tak suka basa-basi…
terutama kalau minta sogokan…
HAKIM: (Bernada marah, kepada Jaksa) Lihatlah caranya
bicara! Gayanya persis pejuang yang minta perhatian.
JAKSA: (Menenangkan suasana) Biarlah saya yang bicara…
(Kepada Pembela, penuh pengertian) Saya bangga dengan kegigihanmu membela pesakitan
itu. Tapi marilah kita pikirkan hal yang lebih besar. Situasi makin
membahayakan keamanan Negara. Pesakitan itu makin tak terkedali. Kau pasti
sudah dengar: pesakitan itu sudah membunuh seorang petugas!
PEMBELA: Bukan seperti itu yang saya dengar… Karena itulah
saya berkewajiban meluruskan berita soal itu!
HAKIM: (Menyodorkan map) Laporan kronologi peristiwanya ada
di sini! Semua tertulis detail terperinci… Pesakitan itu menyerang petugas itu
dengan membabi buta, membunuhnya… kemudian memperkosa mayatnya…
PEMBELA: (Sambil mengamati membaca kertas-kertas dalam map
itu) Saya rasa, laporan ini hanya merupakan fantasi orang yang menuliskannya.
HAKIM: Satu petugas terbunuh! Itu bukan fanasi, anak muda!
Bayangkan kalau pesakitan itu bisa meloloskan diri. Dan dia memang selalu
berusaha melarikan diri dari selnya. Bayangkan orang seperti itu berkeliaran di
jalan-jalan. Ia pasti akan menyergap anak-anak kecil yang masih manis. Mencekik
mereka, kemudian memperkosanya. Seorang maniak seks seperti dia tak akan puas
hanya memperkosa satu dua kali… Bayangkan: berapa anak-anak yatim dan
janda-janda – yanag seharusnya dipelihara oleh negara – akan diperkosa oleh
pesakitan itu!
JAKSA: Saya hanya minta kerjasamamu seperti biasanya. Saya
tahu, kasus ini peluang bagi kariermu sebagai pembela. Inilah kesempatanmu
masuh dalam deretan sejarah orang-orang yang dengan gigih memperjuangkan
keadilan. Tapi buat apa? Buat apa keadilan kalau itu hanya akan menghasilkan
ketakutan dan kengerian bagi yang lain…
HAKIM: (Bernada penuh ancaman) Dan bukan tidak mungkin
kengerian itu akan menimpamu sendiri, anak muda!
PEMBELA: Itu nasehat ataukah ancaman?!
Jaksa dengan halus mencoba melerai dan menuntun Pembela
menjauhi Hakim. Sementara pada saat bersamaan Jaksa itu juga memberi isyarat
kempada Hakim akan bisa menahan diri (seakan-akan mengatakan, biarlah ia yang
bicara dengan Pembela). Dari sinilah akan makin terasa betapa ada hubungan
khusus antara Jaksa dan Pembela.
JAKSA: Kamu jangan salah faham. Kami sama sekali tak
mengancammu. Lagi pula, siapakah sesungguhnya yang mengancam? Dan siapa yang
paling merasa terancam? Sumber ancaman jelas, ditebarkan oleh pesakitan itu. Ia
tidak sendirian. Ingatlah orang-orang yang kini telah memujanya, yang
menganggapnya pahlawan perlawanan. Mesiah yang akan membebaskan! Yang kita
hadapi adalah keyakinan! Pemujaan! Sekte! Aliran sesat yang memuja kebebasan!
Karena itulah, yang kita hadapi bukan cuma seorang pesakitan. Kita sedang
berhadap-hadapan dengan sebuah gagasan yang memuja kebebasan. Gagasan yang
mengatasnamakan keberagaman! Bayangkan bila gagasan ini meracuni seluruh rakyat
kita?! Seluruh persendian moal yang telah kita bangun akan runtuh! Karna itu
yang sedang kia perjuangkan bukan semata Undang-undang. Kita memperjuangkan
keyakian. Prinsip moral. Bahwa bangsa ini harus memiliki sistem moral yang
kuat…
PEMBELA: Sistem moral yang kuat, ataukah sebuah upaya untuk
memonopoli kebenaran!
JAKSA: Sssstt… Jangan membantah dulu. Kamu masih muda…
(Membelai Pembela dengan mesra)… Masa depanmu masih ranum. Dan kami bisa
memilihkan masa depan yang akan menyenangkan buat kariermu. Saya bangga kamu
jadi pembela moral yang gigih… Tapi ingatlah, kita ini hanya sekadar
menjalankan peran… Sistem ini hanya berjalan kalau kita bisa menjalankan peran
kita masing-masing dengan baik dan penuh saling pengertian…
Pembela tampak gelisah dengan sikap mesra Jaksa kepadanya.
PEMBELA: Karna itulah saya mencoba menjalankan peran
konstitusional saya dengan sebaik-baiknya…
JAKSA: Jalanilah dengan baik…, tapi jangan naif… Apa kamu
kira kamu bisa serta-merta jadi pembala dalam kasus ini, bila kami tak
menginginkannya? Kami yang memilihmu jadi pembela… Aku sendriri yang
merekomendasikan agar kamu diberi kesempatan untuk ikut mengambil bagian dalam
peran ini… (Bersikap sangat mesra) Karna aku tahu kamu… kemampuanmu… impianmu…
Tapi jangan kecewakan aku…
PEMBELA: Saya harus membelanya…
HAKIM: (Tegas penuh sindiran) Memang sudah menjadi
kewajiban, seorang keponakan membela pamannya!
Pembela langsung gugup dan kaget.
HAKIM: Apa kamu pikir kami tak tahu kekerabatanmu dengan
pesakitan ini. Saya punya informasi lengkap tenang kamu. (Melihat-lihat catatan
dalam map, dan membacanya) Nama: Utami… Lulus fakultas Hukum lima tahun lalu… Suma cum laude … Jadi
aktivis pers mahasiswa… Hobi menulis sastra… Pernah menerbitkan novel yang
dituduh penuh adegan porno…
PEMBELA: Saya menulis sastra, bukan novel porno!
HAKIM: Terserah… saya tak perduli apakah sastra atau porno!
Yang jelas itu sasstra jenis SMS… Sastra Mazhab selangkangan! Saya bisa menangkap
kamu karna menulis novel itu!… (Kembali membaca data di map) … Pernah kost di
Utan Kayu… Berkencan… dan punya hubungan sejenis dengan…
JAKSA: (Gugup cepat memotong) Bukankah soal yang itu kita
sudah sepakat akan mengabaikannya!
HAKIM: Oh ya, ya… (Mencoret kertas di map)…
JAKSA: Terimakasih…
HAKIM: Tapi fakta bahwa ia punya hubungan darah dengan
pesakitan itu, saya kira tidak bisa kita abaikan… (kepada Pembela) Itu artinya,
kamu tidak bersih lingkungan… Lebih-lebih, dalam arsip ini, kamu disebut-sebut
bersama Ulil ikut dalam Jaringan Moralis Liberal…
Pembela terpojok dan tak berdaya, ia menatap Jaksa,
seakan-akan minta perlindungan…
JAKSA: Kamu masih punya kesempatan…
Jaksa bersikap mesra pada Pembela, dan Pembela seperti tak
berdaya menolak pelukan mesra itu.
JAKSA: Saya yakin kamu cukup bijak menentunkan… Kamu punya
kesempatan untuk meraih masa depan yang lebih cerah… Bayangkan… Kamu tak hanya
jadi pembela, tapi punya posisi yang strategis… Mungkin kamu bisa dipromosikan
menjabat ketua Komite Indipenden Pemantau Moral.
PEMBELA: Terimakasih…
JAKSA: Atau bahkan kamu bisa menjadi ketua MA…
PEMBELA: (Gembira) Mahkamah Agung?
JAKSA: Bukan… Mahkamah A-moral.
Jaksa makin menatap penuh kasih sayang…
JAKSA: Sekarang pergilah…
Pembela pergi… Jaksa memandanginya kepergian Pembela dengan
tatapan penuh mesra… Sampai terkejut ketika Hakim bersuara
HAKIM: Kamu menatapnya seperti menatap kenangan…
JAKSA: Setiap kita punya kenangan, Bapak Hakim… Kenangan
yang ingin kita simpan … Kenangan yang jadi rahasia… Bukankah setiap orang juga
punya rahasia, Bapak Hakim?!
Hakim tersenyum penuh pengertian. Jaksa mengulurkan tangan,
semacam isyarat penuh godaan. Lalu Hakim mendekati Jaksa, meraih tangannya,
mencium telapak tangan Jaksa dengan lembut. Kemudian Hakim membimbing Jaksa
dengan mesra.
Keduanya berjalan ke satu sudut, dimana kemudian keduanya
menjadi bayangan. Mereka berpelekan. Bergairah dan bercumbu liar. Hakim tampak
mengikat kedua tangan Jaksa terentang. Kemudian dengan penh gairah mencambuki
tubuh Jaksa dengan penuh berahi.
Sayu-sayup terdengar suara orang menembang, penuh kepedihan…
SEPULUH
Tembang itu terus mengalun…
Susila, dalam selnya, tergeragap mendengar suara tembang
itu. Ia sperti terkenang akan tembang itu. Tembang itu bagai mengingatkannya
pada hari-harinya yang tenang. Dalam keremangan, terlihat sesesok perempuan
yang sedang menembang itu.
SUSILA: Siapa itu?
Sesosok perempuan itu beringsut mendekat dalam kegelapan…
SUSILA: Siapa?
MIRA: Aku… Mira…
SUSILA: Mira? Mira siapa? Mirasantika? Mira Diarsi? Mira
Lesmana? Atau Miranda Goeltom?
Tembang berhenti. Sunyi sejenak.
SUSILA: Siapa?
Tak ada jawaban. Sunyi membuat Susila gelisah. Tiba-tiba
terdengar seperti suara pintu dibanting, keras.
SUSILA: (Kaget, latah) Eh, kontol copot…copot..copot…
(memandang mencari-cari sesuatu di lantai) Mana…mana… (Lalu melihat dalam
sarungnya, kemudian tersenyum) Eh, masih…
MIRA: Kamu masih di situ?
SUSILA: Eh iya, masih…(sambil terus memandangi ke dalam
sarungnya)… masih utuh…
Lalu perlahan-lahan muncul Mira, bagai keluar dari dalam
lobang persembunyian… Susila terkejut dan segera mengenalinya,
SUSILA: Kamu… Kamu penari tayub itu, kan? Kamu kok bisa kemari? Apa
penjaga-penjaga itu…
MIRA: Nggak usah khawatir… Aku sudah memuaskan
penjaga-penjaga itu dengan goyangan… Kawan-kawan menyuruhku menemuimu… Karna
kami harus yakin bahwa kamu tetap setia pada perjuangan kita.
Susila tampak kebingungan,
SUSILA: Perjuangan?
MIRA: Beberapa kawan mulai curiga kamu akan menyerah… Mereka
takut kamu akan membocorkan rahasia kita!
SUSILA: Rahasia apa? Wahh, saya nggak mudeng…
MIRA: Berhentilah main-main, Susila! Atau kamu tak
mempercayaiku?! Sengar, Susila.. aku kemari karena ingin menyelamatkanmu! Saat
melihatmu tayuban dulu, aku sudah merasa, kamu memang pejuang sejati…
SUSILA: Kamu itu ngomong apa?
MIRA: Aku yang harusnya bertanya, kamu sudah ngomong apa
saja pada petugas-petugas itu? Apa kamu cerita kalau rombongan tayub kami
sesungguhnya para gerilyawan moral yang sedang menyusup ke kota? Jawab, Susila!
SUSILA: Eh, jawab jawab… Jawab apa?
MIRA: Berapa nama yang sudah kamu sebut?
SUSILA: Nama apa? Saya nggak ngerti…
MIRA: Jadi benar?
SUSILA: Apanya yang benar?!
MIRA: Kamu sudah membocorkan rahasia perjuangan kita….
SUSILA: Perjuangan apa? Kita siapa? Aku nggak mudeng…
MIRA: Kamu kok aneh begitu? Kamu memang sudah berubah… Kamu
pasti lelah. Tapi aku yakin kamu mampu bertahan. Meski banyak kawan-kawan
seperjuangan meragukan keteguhanmu. Makanya mereka mengirimku ke mari… Mereka
ingin aku membunuhmu… Karena mereka tahu aku diam-diam menyintai kamu… Sejak
pertama melihatmu di tayuban dulu, aku memang sudah jatuh cinta sama kamu… Ah,
cinta pada pandangan pertama… Sejak kamu ditahan, aku selalu mencemaskanmu,
Sus… Dan kawan-kawan seperjuangan bisa merasa perasaan cintaku padamu bisa
menjadi awal petaka…Mereka lalu menuntut keteguhanku: memilihmu atau memilih
perjuangan… Tapi saya tak mau membunuhmu, Susila…
Tolong saya… Sekarang kamu lari… (menyerahkan kunci) Ini
kuncinya… Larilah… kamu bisa menghilang ke mana saja…
Susila menatap kunci yang disodorkan Mira, tapi tak
menerimanya, malah ketakutan,
SUSILA: Tidak… Tidak… kalau kabur pasti saya diburu…
MIRA: Ini demi keselamatanmu, Susila… Atau kamu memang sudah
betah di penjara ini?… Begitu? Aku mendengar desas-desus kalau kamu memang
diperlakukan baik di sini. Kami justru merasa nyaman dalam penjara. Penjara
membuatmu merasa makmur!
SUSILA: Oo uedan tenan! Di penjara kok makmur!
MIRA: Kalau kamu nggak senang, larilah… Semakin lama kamu
dipenjara, kawan-kawan malah semangkin cemas. Kamu akan tergoda. Lalu kamu
membocorkan rahasia kita. Saya ingin kamu selamat. Tapi aku juga ingin semua
kawan-kawan seperjuangan kita selamat….
SUSILA: Mbuh, mbuh… Saya nggak mudeng. Nggak mudeng!
MIRA: Ingat, Sus… Orang-orang di luar begitu berharap
padamu. Kamulah satu-satunya harapan kita. Diam-diam banyak rakyat yang
memujamu. Kalau kamu sampai menyerah, habislah seluruh perjuangan kita… Sampai
saat ini aku terus bergerilya menyamar jadi penari tayub.. Kamu pikir, apa yang
membuat saya tahan melakukan semua itu? Kamu, Sus… Kamu… Kamu-lah yang membuat
aku yakin bahwa apa yang kini aku jalani dan yakini tidak akan sia-sia…
Susila terbengong-bengon, bingung dan hanya terdiam di dalam
sel. Mira berusaha mengulurkan tangannya menyentuh Susila, mengelus-elus Susila
dengan ujung jari-jarinya,
MIRA: Ayo, Sus… Kamu harus keluar dari sini…
Susila tiba-tiba langsung beringsut menjauh, dan nampak
malu,
SUSILA: Lha ini… baru disentuh kamu saja sudah keluar…
MIRA: Ayolah, Sus… Larilah… Aku tak ingin kamu mati konyol…
SUSILA: Kamu yakin kalau saya lari saya tak akan mati? Di
penjara ini saya bisa mati… Kabur pun saya pasti mati… Saya nggak ngerti… Jaman
apakah ini… Jaman harta? Jaman susila? ….Dulu zaman Suharto, zaman nyari harta.
Sekarang kan
zaman Susila. Zaman menegakkan susila. Su-sila…, dasar yang baik. Setelah dapat
harta, lantas nyari susila…. Tapi saya? Sudah nggak dapat harta, eh malah
kesandung susila… Apalagi yang bisa saya percaya?
MIRA: Percayalah sama saya… Kamu hanya lelah…
Terdengar suara kemerontang, seperti ada yang dating. Mira
segera bangkit, melihat keadaan. Lalu buru-buru menyodorkan lagi kunci ke arah
Susila.
MIRA: Ini kuncinya… Kunci hidup matimu!!!
Susila hanya memandang, bergeming. Suara seperti pinu sel di
dorong kembali terdengar. Mira buru-buru melempar kunci tu ke dalam sel Susila,
hingga jatuh tak jauh dari kaki Susila yang terus bergeming.
Kemudian Mira segera menyelinap pergi…
Susila tanpak bingung. Ia memandangi kunci itu. Ia bergerak
hendak memungutnya. Tetapi kemudian tak jadi. Ia terlihat begitu bingung. Ragu
memandangi kunci itu…Sampai kemudian ia tiba-tiba begegas mengambil kunci itu.
Tangannya gemetar membuka selnya.
Susila kabur…
Terdengar sirene meraung-raung!
SEBELAS
Operasi Moral besar-besaran digelar untuk memburu Susila.
Sepasukan Polisi Moral terlehat menyebar. Mereka bergerak, seperti sepasukan
tentara elit memakai seragam hitam-hitam dengan jaket rompi anti peluru. Di
punggung mereka terlihat tulisan DESTASEMEN MORAL. Sebagian memakai topeng
penutup, topi baja dengan lampu sorot di bagian depannya. Senjata mereka
terarah siap menembak, dengan sinar infra merah terus berkelebatan dalam gelap.
Musik Mission Imposible mengiringi gerakan para Polisi Moral
yang terus menyebar hingga ke penonton. Mereka menggeledah setiap penonton.
Mengarahkan lampu sorot, membidikkan senapan berinfra merah itu tepat ke dada
atau kening penonton…
Di ataa panggung, dalam ketinggian komando, terlihat Petugas
Kepala berdiri menjulang memberi perintah dengan megaphone…
PETUGAS KEPALA: Perhatian! Perhatian!…. Ini darurat Moral!
Atas nama Undang-undang Susila saya perintahkan semua menyerah… Tembak ditempat
semua yang mencurigakan!
Sementara para pasukan menyebar mendatangi para penonton,
menggeledah para penonton…
PETUGAS KEPALA: Ini jam malam moral. Jangan sampai kelamin
Anda berkeliaran malam-malam…
Dari satu arah seorang Pasukan berteriak, sambil mengarahkan
senapannya ke sebuah sudut..
PETUGAS: Pak! Ada
kelamin sembunyi di selokan…
PETUGAS KEPALA: Tembak!
Petugas itu segera memberondongkan senapan. Serentetan
tembakan menggelegar…
PETUGAS KEPALA: (Dengan megaphonenya) Sekali lagi, bagi
saudara-saudara yang tidak bisa menjaga kelaminnya, harap segera menyerahkan
kelaminnya ke pos-pos kemanan terdekat!
Para petugas it uterus
memeriksa para penonton, menggeledah. Para
petugas tersebut bisa improve melaporkan apa yang ditemukan (seorang petugas
misalnya berteriak ke arah Petugas Kepala kalau ia menemukan kondom nyangku di
atas pohon, menemukan dua pil Viagra, dst…)
PETUGAS: Terus geledah setiap rumah! Cari buronan itu! Cari
sampai ketemu. Bahkan bila ia kembali sembunyi di rahim ibunya!
Para pasukan bergerak sigap
dan cepat. Sirene pencarian terus meraung-raung menggetarkan udara.
DUA BELAS
Sirene masih sayup terdengar menjauh dan derap pasukan yang
melakukan operasi masih terdengar menyebar ketika dari satu pojok muncul Mira.
Petugas kepala tampak hendak bergerak, ketika terdengar suara Mira yang dengan
hati-hati memanggil…
MIRA: Kelabang satu!
Petugas kepala menoleh, mencari suara itu. Ia tampak kaget.
MIRA: (Kembali berteriak, hati-hati, memanggil) Kelabang
satu!
PETUGAS KEPALA: (Sambil melihat-lihat keadaan) Sebutkan
kodemu?!
MIRA: Agen 36-B…
Mendengar itu, Petugas Kepala makin tampak makin kaget,
gelisah, tapi mencoba menguasai keadaan…
Mira tampak keluar dari pojok persembunyiannya, tapi Petugas
Kepala langsung membentaknya…
PETUGAS KEPALA: Tetap di situ!! (Kembali melihat sekeliling)
Kamu yakin tak ada yang mengikutimu? (Sambil terus menyembunyikan diri dalam
keremangan) terlalu beresiko kamu menemui saya langsung…
Tampak benar kalau Petugas Kepala selalu mencoba menjaga
jarak, dengan berdiri di keremangan, hingga sosoknya tampak samar ketika
berbicara…
MIRA: Maaf…
PETUGAS KEPALA:Kamu telah melanggar perintah!
MIRA: Saya hanya mau minta kepastian…
PETUGAS KEPALA: Apa yang yang pasti dalam situasi seperti
ini! Semua sudah diluar kendali! Dan saya pun hanya pelaksana!
MIRA: Tapi kita telah sepakat: Susila tidak akan dibunuh…
Karna itulah saya mau membujuknya supaya kabur…
PETUGAS KEPALA: Sekarang ini bukan saatnya kamu melibatkan
perasaan! Kamu telah gagal, karena kamu melibatkan perasaan kamu. Kalau saja
saat itu Susila langsung kamu bunuh, tak perlu ada operasi besar-besaran ini…
MIRA: Saya pikir, membiarkan Susila kabur dan bersembunyi
lebih menguntungkan…
PETUGAS KEPALA: Pikirkan saja nasib kamu! Tak perlu
memikirkan Susila. Apakah dia akan dibunuh atau tidak, itu hanya soal
kepentingan. Mana yang lebih menguntungkan…
MIRA: Saya mohon…
PETUGAS KEPALA: Terlambat!
Terdengar serentetan tembakan di kejahuan. Mira dan Petugas
Kepala saling menatap tajam…
MIRA: Apa itu Susila?
PETUGAS KEPALA: Entahlah… Kamu bisa cari informasi sendiri!
Sekarang kamu mesti kembali!…
Seperti ada yang datang, dan Petugas Kepala melihat keadaan…
PETUGAS KEPALA: Cepat! (memperhatikan satu arah, merasa
kalau ada seseorang yang datang mendekat) Kamu yakin tak ada yang mengikutimu?
Mira diam, memperhatikan sekeliling juga. Ia juga mendengar
ada yang berjalan mendekat…
PETUGAS KEPALA: Cepat! Sekarang kamu pergi! Saya ingin
daftar nama-nama itu secepatnya!
Petugas Kepala tampak makin ingin buru-uru pergi, melihat ke
satu arah, melihat ada yang datang, dan Petugas kepala pun segera berkelebat
menghilang, sementara Mira kembali sembunyi…
Muncul Pembela, tampak berjalan bergegas. Mira memperhatikan
Pembela yang melintas itu, lalu memanggilnya.
MIRA: Utami!
Pembela kaget, berhenti dan menoleh. menatap penuh selidih
kekapa Mira.
MIRA: Saya Mira… Kawan Susila…
PEMBELA: Oo.. Mira? Atau Agen 36 B? Kawan Susila? Atau yang
mengkhianati Susila?
MIRA: Beri kesempatan saya untuk menjelaskan…
PEMBELA: Kamu mau memberikan penjelasan atau mau memberikan
informasi yang menyesatkan? Dalam situasi seperti ini, siapa yang bisa kita
percaya?
MIRA: Susila percaya sama saya. Dia mau mendengar omongan
saya….
PEMBELA: Dan karena mendengar omonganmu lah maka sekarang
nasibnya menjadi tidak jelas. Dia buron, dan sewaktu-waktu bisa mati ditembak!
Atau jangan-jangan sekarang ia sudah mati tertembak! Kalau saja ia masih di
dalam penjara, setidaknya saya masih bisa menjamin keselamatannya…
MIRA: Saya tahu persis: penjara akan menjadi tempat
kematiannya. Karena itulah saya menyuruhnya pergi… Tolonglah… Jangan biarkan
saya terus disiksa perasaan bersalah begini. Saya bisa bantu kamu. Sayu bisa
hubungkan kamu dengan orang-orang gerakan… (Mengeluarkan seberkas kertas dari
balik pakaiannya) Semua informasi ini mungkin berguna sebagai bukti di sidang
nanti…
PEMBELA: (Dengan halus menolak) Apa untungnya buat saya?
Kamu melakukan ini bukan karena ingin membantu saya, kan?! Kamu hanya ingin Susila selamat. Kamu
mencintai Susila, dan karna itu kamu mau melakukan apa saja asal Susila
selamat.
MIRA: Saya melakukan ini karena saya yakin kamu pun ingin
Susila selamat… Bagaimana pun dia Pakdemu… Kamu mesti menolong Pakdemu…
PEMBELA: Bagaimana saya mesti menolong dia? Menolong diri
sendiri saja saya tak mampu… (Menatap sinis pada Mira) Maaf, saya mesti
buru-buru menghadiri sidang!
Dengan cepat Pembela segera meninggalkan Mira. Mira pun
berdiri gamang. Terisak. Ia gelisah dengan seluruh perasaan bersalah. Ia
mengeluarkan berkas kertas yang tadi hendak diberikan pada Pembela. Menatap dan
mengamati berkas kertas itu dengan gemetar. Tiba-tiba Mira menyobek-nyobek
berkas kertas itu, seperti ingin melampiarkan seluruh kegundahannya…
Pada saat itulah, terdengar teriakan orang-orang: ”Itu dia!
pengkhianat! Tangkap! Tangkap!” Mira kaget, tetapi ia dengan cekatan langsung
menyelematkan diri. Teriakan-teriakan itu terus terdengar mengejar: ”Tangkap!
Kejar! tangkap!! kejaarr!!”….
TIGA BELAS
Hakim, Jaksa dan pembela muncul terburu-buru. Hakim langsung
menuju meja sidang dan langsung mengetokkan palu berkali-kali.
HAKIM: (suara sudah langsung meninggi) Sidang mulai!
PEMBALA: (Ragu dan tak seyakin dulu) Ee.. Maaf, Bapak
hakim.., klien saya belum ditemukan…
HAKIM: (mengabaikan, dan langsung memotong omongan Pembela
dengan mengetukkan palu keras-keras dan makin tegas) Kalau begitu sidang
dilangsungkan secara in absentia! Apa pun yang bisa mewakili kehadiran terdakwa
harap segera dibawa ke ruang sidang…
Hakim kembali mengetukkan palu memerintahkan.
Terdengar teriakan seorang petugas: “Terdakwa segera
memasuki ruangan!”… Suasana kemudian hening, khidmad. Musik mengiringi suasana
bagai permulaan prosesi upacara yang sakral dan kudus. Semua berdiri menunggu…
Kemudian muncul para petugas yang mengusung sebuah closet
yang ditandu dengan langkah-langkah upacara. Seperti parade kehormatan. Khidmad
dan agung. Kemudian dengan penuh kehati-hatian, kloset yang ditandu itu
kemudian diletakkan di tengah-tengah ruang sidang. Para
petugas yang menandu pergi dengan sikap parade militer…
HAKIM: Harap petugas memastikan keotentikan status terdakwa!
Seorang petugas medis, segera mendekati closet itu. Ia
segera menyeprotkan cairan pendeteksi sidik jari ke kloset itu, kemudian
mengeliuarkan selembar tissue dan dengan hati-hati mengelap ke bekas semprotan
itu. Lalu ia memeriksa closet itu dengan semacam alat pendeteksi dan dengan
cermat dan seksama kertas itu diterawangkan ke cahaya…
PETUGAS MEDIS: Kami tak berhasil mengidentifikasi sidik jari
terdakwa… Tapi kami berhasil menemukan sidik tai terdakwa… Dan berdasarkan
sidik tai yang kami miliki, kloset ini memang pernah diduduki terdakwa!
HAKIM: Berdasarkan Undang-undang Susila, maka sidang bisa
dianggap sah dan memenuhi kuorum… Saudara Jaksa dan Saudara Pembela, silakan
mulai…
Hakim mengetukkan palu. Jaksa dan Pembela serentak mendekati
kloset itu, dan langsung menghunjamkan bermacam pertanyaan, kata-kata, cercaan,
sambil menuding dan menunjuk-nunjuk kloset itu…
JAKSA: Apa yang dilakukan pesakitan ini sudah tidak bisa
kita maafkam.
PEMBELA: Hukum seberat-beratnya…
JAKSA: Ia terbukti secara meyakinkan berusaha menggulingkan
moral negara.
PEMBELA: (Bertanya kepada kloset itu) Bukankah begitu,
saudara terdakwa?
HAKIM: Pesakitan, saudara Pembela!
PEMBELA: Ya, pesakitan! Pesakitan ini adalah contoh buruk
dari peradilan kita!
HAKIM: Contoh buruk dari moral, saudra Pembela!
PEMBELA: Ya, inilah contoh moral yang buruk!
JAKSA: Lihatlah Bapak Hakim… (menuding ke kloset) Inilah
bentuk komunisnme gaya
baru!
PEMBELA: Harus kita waspadai!
JAKSA: Harus kita ganyang! Inilah sumber penyakit kelamin.
Sumber demoralitas Negara!
PEMBELA: Itu terlalu berlebih-lebihan…
HAKIM: Tak ada yang berlebih-lebihan, saudara Pembela…
PEMBELA: Ya, maaf, Bapak Hakim… tidak berlebihan bila
pesakitan dihukum seberat-beratnya…
JAKSA: Pesakitan ini jelas sangat pantas dihukum rajam!
PEMBELA: Potong kelaminnya!
JAKSA: Hidup kelamin!
HAKIM: Saudara Jaksa!
JAKSA: Maaf, Bapak Hakim… Maksud saya, hidup kelamin yang
bermoral!!
HAKIM: Sudah menjadi kewajiban kita mendidik agar setiap
kelamin memiliki moral, Saudara Jaksa…
PEMBELA: Tapi kelamin pesakitan ini tidak bermoral!
HAKIM: Saya suka dengan nada bicamu yang heroik, Pembela!
Good…
JAKSA: Teteknya juga tidak bermoral!
PEMBELA: Otaknya tak bermoral!
JAKSA: Buah pelirnya tak bermoral!
PEMBELA: Telinganya tidak bermoral!
JAKSA: Dengkulnya tidak bermoral!
PEMBELA: Kutilnya tidak bermoral!
Begitu seterusnya, Jaksa dan Pembela seperti saling berlomba
melontarkan kata-kata ke arah kloset itu, menuding-nuding, meludahi, bahkan
mengentuti kloset itu. Keduanya terus mendakwa dengan bermacam-macam kata
cercaan dan bermacam-macam tuduhan…
Kemudian semua yang hadir ikut-ikutan menghujat: “Jarinya
tidak bermoral! Alisnya tidak bermoral! Tumitnya tidak bermoral! Kukulnya tidak
bermoral!… dst…” Hingga suasanya menjadi hiruk pikuk oleh hujatan yang makin
meninggi.
Sementara lampu perlahan lahan mengarah dan fukus pada
kloset itu. Bersamaan itu, suara Jaksa dan Pembela yang terus melontarkan
kata-kata perlahan juga merendah dan sayup-sayup…
Sekitar panggung menggelap, dan hanya ada cahaya yang
menyorot ke arah kloset. Suara Jaksa dan Pembela makin sayup-sayup.
Dan bersamaan dengan itu kemudian terdengar suara yang
keluar dari pengeras suara, suara Hakim yang tengah mengumumkan,
SUARA HAKIM DI PENGERAS SUARA: Sidang Susila dengan ini
memutuskan bahwa pesakitan akan menerima hukuman seberat-beratnya. Dan untuk
menghindari hal-hal yang bisa berkembang dikemudian hari, maka Sidang Susila
ini juga menetapkan, bahwa segala macam kata-kata, ucapan, tulisan, gambar,
rekaman dan semua bentuk kelamin yang ada di muka bumi ini harus segera
dihapuskan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya….
S E L E S A I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar