“Sang
Mandor”
Karya : Rahman Arge
Pemain :
Sang Mandor
Istri Mandor
Juki
Buduk
Poke
Rimba
SANG MANDOR :
MEROKOK, MELAMUN, BATUK-BATUK.
Kapal-kapal
datang dan pergi. Dan aku Cuma disini.
TERDENGAR
PELUIT KAPAL.
Inikah
akhir riwayatku?
Sebagai
Mandor? Sebagai Ayah? Sebagai Suami? Sebagai Laki-laki? Sebagai...Manusia?
BATUK-BATUK.
IA BERUSAHA MELAWAN REMATIKNYA. IA MERANGKAK, MENCOBA BERGERAK KE JENDELA.
MEMANDANG KELUAR. MASUK MULLI. ISTERI MANDOR.
ISTERI SANG MANDOR :
MELETAKKAN GELAS BERISI AIR PUTIH DI MEJA.
Pak,
saatnya minum obat. Jangan dekat-dekat jendela. Disitu banyak angin. Astaga,
Bagaimana kau bisa sampai disitu?
SANG MANDOR :
Berapa kali dalam sehari-semalam aku
harus
mendengar kata itu? Jangan!
Jangan!
Jangan ini!
Jangan Itu!
ISTERI SANG MANDOR :
Di situ banyak angin, pak.
SANG MANDOR :
Kayak anak balita saja. Dituntun-tuntun.
ISTERI SANG MANDOR :
Obatnya, Pak.
SANG MANDOR :
BERTERIAK. Ya.
ISTERI SANG MANDOR :
Sekarang.
SANG MANDOR :
Iya.
ISTERI SANG MANDOR :
Minum sekarang!
SANG MANDOR :
Iya, iya, iya!
ISTERI SANG MANDOR :
Obatnya saya bawa kesitu, atau, Bapak
yang
saya
bawa kesini?.
SANG MANDOR :
DIAM. MATANYA MENYALA. BATUK-BATUK.
Inikah akhir riwayatku?.
ISTERI SANG MANDOR : MENDEKATI
MANDOR. MENCOBA MEMBANTUNYA
KE KURSI.
Ayolah, Pak. Saya bantu.
SANG MANDOR : MELEDAK
Jauh kau,
Perempuan! Jangan Mendekat. Aku laki-laki. Aku mandor. Aku mampu bergerak
sendiri.
MENCOBA
BERGERAK KE KURSI, TETAPI SANGAT PAYAH.
Lautan luas
aku jelajahi.
IA TERJATUH.
SUSAH PAYAH IA BANGKIT.
Aku kenal
kapal-kapal. Begitu banyak kapal...
IA KERINGATAN.
IA BATUK-BATUK.
Aku akrab
dengan pelabuhan-pelabuhan. Begitu banyak pelabuhan...
IA MENGERANG.
REMATIKNYA NGAMUK.
Aku bersahabat
dengan begitu banyak bangsa. Laki-laki... Perempuan...
TUBUHNYA
TERHEMPAS KE LANTAI.
ISTERI SANG MANDOR : MELOMPAT UNTUK
MENOLONG, TETAPI SEGERA
UNDUR MENDENGAR HARDIKAN SANG MANDOR.
SANG MANDOR : Jangan
dekat! Jangan!
DENGAN
TENAGA TERAKHIR IA BANGKAIT. IA MEMANDANG KEKURSI DENGAN MATA MENYALA.
Telah
kuarungi laut sampai Benua eropa. Kutaklukkan badai sebesar apapun. Para jagoan
mencium lututku. Lalu... lalu hanya untuk sampai ke kursi itu, aku harus kalah,
hah...?
IA
ROBOH.
ISTERI SANG MANDOR :
BERGEGAS AKAN MENOLONG.
Semua
tak ada yang langgeng, pak. Sadarlah. Tak ada orang bisa hidup tanpa uluran
tangan orang lain. Lebih-lebih disaat kita sakit. Orang-orang. Siapapun ia,
Masing-masing berangkat tua, Sakit-sakitan, Kesepian...
SANG MANDOR :
Siapa bilang aku kesepian?
ISTERI SANG MANDOR :
Tidak. Engkau tidak kesepian. Aku ada.
SANG MANDOR : Aku tidak kesepian bukan karena kau ada,
Perempuan! Kau ada atau tidak ada, aku tidak kesepian. Aku tahu mengurus diriku
sendiri, tanpa siapa-siapa...
ISRTERI SANG MANDOR : BANGKIT MENEKAN EMOSI.
Ayo,
laki-laki! Hiduplah sendiri! Uruslah dirimu! Raihlah kursi itu! Letaknya hanya
beberapa meter. Capailah! Tuan Mandor besar!
SANG MANDOR : Diam! Diam! Diam!
ISTERI SANG MANDOR : Aku tak akan diam! Sepanjang hidupku tak pernah
tidak kau koyak-koyak hatiku. Sejak dulu, Sampai kini.
MERATAP
SEDIH
Kehadiranku
di sampingmu tidak pernah kau anggap. Tak pernah kau hargai. Bagimu, Aku
ternyata tak pernah ada. Tak pernah kau hitung, bahwa aku juga manusia.
MELEDAK
LAGI
Ayo! Merangkaklah! Merangkaklah engkau seorang
diri ke kursi itu! Rebut! Rebut! Rebut kursi itu dengan keangkuhanmu!.
KEPEDIHAN
BERCAMPUR KEJENGKELAN
Begitu
banyak pelabuhan. Begitu banyak negeri. Begitu banyak perempuan. Nah mana semua
itu? Mana? Mana? Mana, Tuan Mandor?
JUKI :
MASUK TERGESA-GASA. MENENANGKAN KEDUA ORANG TUANYA.
Saya
tidak mengerti, sampai kapan ayah adan ibu bisa rukun? Sampai kapan hari tua
kalian dibiarkan begini terus? Kapan bisa menikmati ketenangan? Rasa tenteram?
Kebahagiaan? Kedamaian?
SANG MANDOR :
Sampai kapan, kau anak kecil, bisa berhenti berkothbah didepan saya?
JUKI : Kerukunan? Keseiyasekataan?
SANG MANDOR : Kothbah. Hentikan.
JUKI :
MENINGKAT.
Kasih
sayang? Harga-Menghargai? Hormat-Menghormati? Toleransi? Sipotau? Siamasei?
SANG MANDOR :
Hentikan!
JUKI : tepo
seliro?
SANG MANDOR :
Stop kataku!
JUKI : Cinta-mencintai?
SANG MANDOR :
Berhentiiiiii?!
BATUK-BATUK.
AMAT MARAH. DIAM.
ISTERI SANG MANDOR :
MENCOBA MENOLONG SUAMINYA.
Dengan
meledak-ledak begini, Pak, Nafasmu bisa habis. Apa yang dikatakan anakmu, Juki,
memang benar. Kita hampir-hampir tak punya lagi waktu merasakan nikmat yang
diberi Tuhan. Sadarlah. Sadar... Istighfar pak!
SANG MANDOR : Aaaah...! Aku tahu apa yang tersembunyi di
balik nasihat-nasihat Juki. Saban ia datang berkothbah disini, pasti ada
apa-apanya. Pasti ada maksudnya...
ISTERI SANG MANDOR : MENATAP LEMBUT ANAKNYA.
Betulkah
itu, Juki?
JUKI :
DIAM SEJENAK
Iya.
Iya, bu.
SANG MANDOR :
Dan pasti, bagiku, itu kabar buruk.
ISTERI SANG MANDOR :
Apa itu Juki?
JUKI :
Saya, Saya, Habis,kawin, Bu.
ISTERI SANG MANDOR :
Astagfirullah...
JUKI :
Sempurnalah, Bu, Aku sebagai Laki-laki.
SANG MANDOR :
Artinya, ini istrimu yang keempat toch?
JUKI :
Empat sempurna, Pak. Saya sekedar mengulangi riwayat besar bapak.
SANG MANDOR : Setttan!.
JUKI : Maaf, Pak, satu Perahu Bapak terpaksa saya jual
untuk ongkos kawin dan kontrak rumah.
SANG MANDOR :
ROBOH, PINGSAN.
ISTERI SANG MANDOR :
Tolong...tolong...tolong...
MASUK
POKE , UDUK, DAN RIMBA. MEREKA RAMAI-RAMAI MAU MEMBANTU SANG MANDOR DARI
PINGSANNYA, TAPI SEBELUM MEREKA SEMPAT MENYENTUH TUBUH SANG MANDOR, SANG MANDOR
BANGUN.
POKE : Ini saya, Pak. Saya Poke. Anak bapak.
UDUK :
Dan saya Uduk. Kami siap membantu Bapak. Kapan saja, Dan dimana saja, saya anak
Ketiga
RIMBA :
Saya Rrrimba. Orang kepercayaan Bapak untuk Mendampingi Uduk. Juga kapan Dan
dimana saja.
SANG MANDOR :
Kenapa saya?
JUKI :
Bapak tadi pingsan.
POKE :
Ramai-ramai kami mau menolong bapak,
tapi baru kami mendekat, Bapak sudah keburu sadar. Bangun.
UDUK : Seandainya bapak masih pingsan, tentu kami
sudah bergotong royong mengangkat bapak ke tempat pembaringan dan...
POKE : MEMOTONG
Dan
merasakan betapa hangatnya kasih sayang kami, Anak-anak bapak ini, kepada orang
tu...
RIMBA : Dan sekalipun saya, Rrrrimba, hanya orang kepercayaan,
tak kurang kasih sayang saya kepada bapak. Hmm.. Saya boleh dibilang, yaa,
sudah keluarga bapak jugalah begitu.
SANG MANDOR :
BATUK-BATUK
Betulkah
tadi saya pingsan?
SEMUA :
BEREBUT
Betul...betul...betul.....Pak........
SANG MANDOR : MENATAP SATU DEMI SATU.
Tahukah
kalian pertanda apa itu??
SEMUA :
SALING MEMANDANG. BINGUNG]
Tid...tidak...tidak...tidak...pak...
SANG MANDOR :
Nah, itu pertanda, dalam pingsanpun aku harus bisa mandiri.
POKE :
Tapi, maaf, pak; Mengapa bapak duduk dilantai?
UDUK :
Ya, Mengapa bukan dikursi?
RIMBA :
Atau diranjang?
JUKI :
MENATAP YANG LAIN.
Ayo
kita ramai-ramai tolong bapak ke kursi.
SANG MANDOR :
BERTERIAK
Jangan!
SEMUA
BINGUNG DITATAP SANG MANDOR
SANGAT
LEMBUT.
Uduk,
Bagaimana rencana yang pernah kau bilang? Kau jadi Berlayar? Menjadi Kelasi dan
berjuang sampai bisa jadi mandor?
UDUK :
SERIUS.
Ya,Seperti
bapak. Sayalah yang bersedia menggantikan Bapak, Mengukir riwayat besar
dilautan, Seperti bapak.
RIMBA :
Dan sebagai orang kepercayaan bapak, saya, Rrrimba, Akan ikut Uduk,
Mempertaruhkan nasib bersama, Sehidup Semati.
UDUK :
Inilah anak Laki-laki Sang Pemberani, Titisan darah sang penakluk lautan, Yang
tak pernah Gentar Sampai sekarang. Jika layar sudah terkembang,Lebih baik mati
di dasar Laut daripada balik ke pantai
RIMBA :
Dan sebagai orang kepercayaan bapak, Saya, Rrrimba Yang ditugaskan menjadi centeng bagi Keselamatan Uduk...
MENDEKATI
MANDOR
Saya
selalu memompakan kedalam Jiwa anak ini, jurus “Main Kayu Sembunyi Tangan!”
Pukul dulu baru berfikir!
UDUK :
GERAK-GERIK CONGKAK
Dan
Atas nama jurus “Main Kayu Sembunyi Tangan!”, Atas nama prinsip pukul dulu baru
pikir, aku Uduk, putera ketiga sang pemberani,sang penakluk, yang namanya melampaui
luas dan dalamnya lautan, dengan ini berjanji, akan melestarikan kebesaran dan
keagungan Ayahanda.
RIMBA :
Dan sebagai orang Kepercayaan Bapak, say
Rrrim...
SANG MANDOR :
Berhentiiiiii!
SEMUA
JADI PATUNG.
Kata-kata!
Selautan kata-kata kepalaku bengkak, perutku buncit, tubuhku serasa akan
meledak oleh kata-kata kalian! Mulai dari anak pertama, Juki, banyak
kata-katanya, tapi buntutnya itu... Aku pingsan dibuatnya.
UDUK :
MENDEKATI MANDOR SELEMBUT MUNGKIN.
Keterlaluan
Juki. Dialah penyebab...
POKE :
Ya, Betul-betul keterlaluan. Jadi dialah penyebab pingsannya bapak?
JUKI :
Hoe, jangan ikut campur! Itu urusan kami berdua!
UDUK :
Saya juga anaknya. Saya wajib membela ayah saya. Saya tidak mau beliau cedera!
Apalagi pingsan!
POKE :
Jadi kau, Juki ; Kau yang menjadi sebab ayah tadi pingsan? Sampai hati kau,
ha?! Kita, ya, terutama aku, aku yang selalu berusaha keras menjaga ayah,
tahu-tahu kecolongan oleh orang dalam rumah sendiri. Tega nian! Sampai hati
kamu!
MENGAYUNKAN
TINJU KE JUKI
UDUK :
MELOMPAT DIANTARA KEDUANYA DENGAN SIKAP TEMPUR.
Poke,
ini tugas saya. Sayalah yang pantas mambela ayah, membalas sakit hati ayah
karena dibikin pingsan oleh anaknya sendiri.Oleh juki...
KETIGANYA
BAKU HANTAM , MEMUKUL DAN DIPUKUL, TERKAM-MENERKAM , BERGULING-GULING.
ISTRI SANG MANDOR :
PANIK, MENANGIS MENJERIT-JERIT.
Sudah,
anak-anakku, sudah... sudah... sudah... nak
...!
MELERAI, DAN TAK AYAL
LAGI IKUT TERGULING-GULING.
SANG MANDOR
: BERTERIAK.
Berhenti...
Berhenti...
RIMBA :
MEMATUNG MELONGGO
SANG MANDOR : Rimba, kenapa diam seperti tiang
kapal di situ? Buktikan bahwa kamu bukan cuma jago berkata-kata! Buktikan!
Buktikan! Pisahkan mereka... Pisahkan!
RIMBA
: PUCAT TERSIPU-SIPU.
Ma... maaf... maaf, Daeng. Ini tidak termasuk dalam jurus
persilatan saya...
SANG MANDOR : Setttan kau!
Berhenti...!
ORANG-ORANG YANG BERGULING-GULING ITU SPONTAN BERHENTI. TAMPAK
JELAS KEEMPATNYA SEAKAN KENA SAMBAR ALIRSAN LISTRIK YANG AMAT KERAS MENDENGAR
TERIAKAN SANG MANDOR. MEREKA TERPAKU HERAN , MEMANDANG SOSOK SANG MANDOR BERDIRI
TEGAK DI ATAS LANTAI ,SEAKAN TERIAKAN LUAR BIASA ITU MEMBUAT LARI PONTANG-PANTING
PENYAKIT LUMPUHNYA.
ISTRI SANG MANDOR :
TERHARU , TAK DAPAT MENAHAN DIRI KARENA GEMBIRA MELIHAT SANG MANDOR TEGAK.
Daeng, Daengku... engkau
mampu mengatasi lumpuhmu. Aku, aku merasakan diriku tegak berdiri di pelabuhan,
di tepi dermaga , melambaikan sapu tangan ketika kapalmu bertolak... Aku
memandang tubuhmu yang perkasa, kau senyum padaku...
MENDEKATI
SANG MANDOR.
Aku ingin sekali menyetuhmu, Daeng...
SANG MANDOR : Jangan mendekat...
MENATAP ANAK-ANAKNYA.
Sudah kukatakan, dalam pingsan aun aku harus
mandiri.
Apalagi
kini. Rasanya aku segar sekali.
MENATAP
UDUK.
Nah , Uduk. Katakanlah
rencanamu. Langsung, tanpa bung-bunga kata. Tanpa pengakuan-pengakuan besar.
Bahkan tanpa pergumulan...
Ayo...
Uduk..
UDUK
: BINGUNG TETAPI KEMUDIAN
MENEMUKAN KEBERANIAANYA.
Berkat ajaran ayah, sayapun akan segera melaksanakan
rencanaku menjadi mandor pelaut. Tentu mulai dari bawah, sebagai kelasi.
SANG MANDOR : Bagus.
UDUK : Karena itu, sebagai bekal, perahu
ayah... telah...
SANG MANDOR : Kau jual toch?!
UDUK : Iya, ayah; dan....
SANG MANDOR : Cukup! Mestinya inilah pingsanku
yang kedua. Terbanglah semua perahuku !
MENAHAN
GONCANGAN DALAM DIRINYA. DIA BERHASIL, MASIH BERDIRI TEGAK.
Juki, Uduk ; Perkelahian kalian untuk membela
ayah,
ternyata buntutnya memukul saya juga. Perahu saya
Cuma
dua. Dua-duanya sudah melayang...
POKE :
Ayah, tapi ayah jangan terlalu bersedih,sebab saya telah membeli perahu untuk
ayah.
SANG MANDOR
: MEMANDANG TAKJUB PADA POKE.
Ternyata putra
keduaku,Satu-satunya bibit paling unggul. Tapi... bagaimana caranya sampai kau
bisa membeli perahu,poke?
POKE :
Ya, sebagai orang dagang saya ini harus pintar-pintar bahkan harus lihai
memindahkan-mindahkan barang supaya untung.
SANG MANDOR : Artinya...?
POKE :
Saya harus ada modal beli barang dagangan.Maka sawah dan empang milik
ayah,maaf, sudah saya jual ...
SANG MANDOR : BERUSAHA MENAHAN GONCANGAN YANG
SEMAKIN KERAS DALAM DIRINYA.
Mestinya inilah pingsanku yang
kedua tambah setengah.mulanya perahu kini sawah... empang... terus...?
DIAM
LAGI.
Pergilah.
Kini, aku tak punya apa-apa lagi kecuali satu kalimat:
Jangan
lagi menadahkan tangan kecuali kepada tuhan
JUKI,POKE,UDUK,RIMBA,MENGHILANG
DIPINTU.SANG MANDOR MENATAP LEMBUT PADA ISTRINYA YANG TERDUDUK DILANTAI SAMBIL
MENUTUP WAJAH
Mulli,bangkitlah
engkau... dan lihat aku telah disini... di kursi ini.
ISTRI SANG MANDOR :
MENGANGKAT KEPALA IA MERASA SEPERTI TERBANG MELIHAT SUAMINYA BERHASIL MENDUDUKI
KURSINYA.
Daeng
Gassing, suamiku ... Engkau berhasil merebut kursimu dan...mendudukinya. Engkau
berhasil! Ya Tuhan...
MEMELUK
SUAMINYA.
Engkau
telah merebut kembali lautmu,pelabuhanmu-pelabuhanmu, kapal-kapalmu, pengembaraanmu...
SANG MANDOR : Ya dalam diri engkeu... Dalam diri
anak-anakku ...
MEMANDANG
KE ATAS SAMBIL MENGELUS RAMBUT ISTRINYA,
IA SEPERTI BERBISIK KEPADA SESUATU DI ATAS SANA.
Tuhan
Terima
kasih.
Makasar,
9 Agustus 1992
(FS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar